●_●
Ujian nasional telah usai, libur panjang telah tiba, saatnya memikirkan masa depan.
Isya menaiki tangga dengan langkah pelan, di tangannya ada sekantong plastik berisi lima buah ice cream yang baru saja Hussein bawakan untuknya. Enak memang punya abang yang siap sedia 24 jam.
Tangan Isya membuka pintu dengan pelan. Sebenarnya ia lumayan capek setelah menemani Bunda Ayana menonton sinetron India yang alurnya maju-mundur, naik-turun, bolak-balik, kayak roller coaster bahkan lebih parah.
Tidak, Isya bukannya suka dengan sinetron India sehingga mau menemani Bunda Ayana menonton, hanya saja Isya mencoba untuk bersikap normal, bersikap selayaknya putri Bunda Ayana. Isya cukup pengertian mengingat Bunda Ayana hanya punya satu anak dan anaknya itu cowok tembok yang di ajak ngomong saja pelit sekali untuk mengeluarkan lebih dari dua kata.
Saat masuk kamar, Isya lagi-lagi menemukan Zaid masih setia dengan ponselnya, tentu saja bermain game karena sepertinya Zaid mulai menunjukkan sifat remajanya, hobi main game dan rebahan, bukan sifat Zaid yang suka belajar dan sering ke kantor.
Isya menghela nafas, setelah hari terakhir UN Zaid sudah benar-benar libur. Libur dari sekolah, kantor, belajar, pokoknya setiap hari Zaid hanya bermain game online sampai membuat Isya muak sendiri.
Lagi-lagi Isya hanya bisa geleng kepala. Perlahan Isya melanjutkan langkahnya, meletakkan ice cream ke dalam kulkas kecil di bawah meja belajar, lalu membuka kerudungnya dengan kasar dan berakhir dengan merebahkan diri di atas kasur.
Isya bisa melihat lirikan sepersekian detik yang Zaid berikan lalu kemudian lanjut bermain game. Karena kesal Isya menghentakkan kakinya beberapa kali hingga membuat kasur yang pagi tadi ia rapikan kembali berantakan. Dan sialnya Zaid tetap fokus dengan gamenya.
Zaid nyebelin, dasar!
Isya bangkir dari posisi rebahan lalu duduk bersila di atas kasur. Tangannya bergerak membuka ikat rambut lalu memperbaiki rambut dengan asal dan kembali menguncir rambutnya. Tatapannya selalu jatuh pada Zaid yang dengan kurang ajarnya seperti menganggapnya tidak ada. Isya jadi ingin mengabsen nama-nama hewan berkaki empat.
Setelah selesai mengikat rambut, Isya berjalan mendekati Zaid yang masih setia dengan gamenya bahkan saat Isya sudah berada di sebelah sofa yang ia rebahi.
Isya berdecak kesal, kemudian naik ke atas tubuh Zaid dengan posisi tengkurap dan ternyata posisi seperti ini lumayan nyaman. Lagi-lagi Isya berdecak kesal, bahkan setelah ia ikut merebahkan diri di atas tubuhnya, cowok ini hanya bergerak memeluk pinggang Isya dengan satu tangan dengan mata dan tangan lainnya yang tetap fokus pada game.
"Za, we need to talk"
Zaid bergeming membuat Isya muak dan langsung mengambil ponsel Zaid dan melempar benda pipih itu ke sembarang arah.
Zaid hendak beranjak karena kaget tapi suara Isya menghentikannya.
"Don't move!" Isya memukul tangan Zaid dengan marah, cowok satu ini sudah berani memanaskan gunung berapi.
Zaid menelan saliva dengan susah payah, dia berada di posisi yang sudah benar-benar salah. Ya, dia salah. Tapi posisi Isya yang seperti ini jauh lebih dari salah. Tidak salah juga sih sebenarnya, tapi kurang tepat.
Isya kembali menjatuhkan kepalanya di atas dada Zaid, lalu helaan nafas kembali berhembus dari bibir ranumnya dan sialnya Zaid malah salah fokus dengan bibir manis itu.
"Sekarang, gue lagi marah banget sama lo yang selama seminggu ini kerjanya cuman main game dari bangun tidur sampai tudur lagi" Isya menghela nafas saat jeda. "Dalam kepala gue selalu penasaran, apa gue ada salah? Apa gue berbuat sesuatu yang salah? Atau gue salah ngomong?" Isya mendengus kesal lalu mendongak, "Tapi setelah di pikir-pikir, seharusnya cowok nggak marah sampai berhari-hari kayak lo. Lo bahkan keluar kamar hanya waktu makan siang, lo nggak sarapan dan makan malam. Atau jangan-jangan lo ada niat bikin gue jadi janda muda? HEY!!?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cause We Young
RomanceApa yang terjadi, jika Isya yang tak pernah dekat dengan laki-laki selain Abang-abangnya, tiba-tiba di paksa menikah dengan laki-laki yang ternyata adalah teman sekolahnya? "Ayah ngaco?" Ayahnya menggeleng pelan. "Bercanda?" Ayah kembali menggeleng...