Memory

3 1 0
                                    

Musik terdengar begitu kencang sementara Alena sendiri seolah tuli dengan semua itu. Telinganya cuma mendengar denting gelasnya yang bertabrakan dengan meja kaca, atau suara sesapannya sendiri pada minuman yang teguk kala dihampiri ironi. Malam itu ia pergi seorang diri, tak peduli lagi soal keselamatan dirinya sendiri.

Kala sesapannya yang entah keberapa, netranya bertumbuk dengan milik seorang lelaki yang tengah menikmati irama di lantai dansa. Entah mengapa ia merasa familiar dengan pemilik netra sabit yang tampan itu. Ekor matanya yang tajam sungguh menggairahkan, ditambah dengan sudut bibirnya yang mendadak terangkat saat mengetahui ada lawan jenis yang tampaknya tertarik padanya. Alena buru-buru memalingkan wajah, tak ingin laki-laki itu semakin bangga karena terus ditatapnya dengan sejuta kekaguman.

"Kok gue familiar ya sama lo?" Entah sejak kapan laki-laki itu sudah duduk di hadapan Alena. Yang diajak bicara terpaksa menatap mata lawannya sambil terus berusaha mencari di sudut memorinya tentang siapa kiranya lelaki yang tengah ia tatap ini. Semakin aneh karena keduanya sama-sama merasa mengenal satu sama lain.

"Ngaco ah!" Jawab Alena asal. Kemudian mengangkat gelas di meja untuk meneguk isinya lagi, namun aktivitasnya terhenti saat laki-laki itu mengambil alih gelasnya dan menghabiskan isinya seorang diri. Ketika Alena hendak meluapkan emosi, lelaki itu memotongnya dengan cepat, "Pesen lagi aja, gue yang bayar."

Alena tertawa sarkas, merasa direndahkan.

"Oh? Bentar lagi mau bayar gue juga?" Tantangnya. Namun tampaknya lawannya tak suka dengan itu. Laki-laki itu menatapnya tajam, wajahnya kelihatan marah. Alena pikir kemarahan itu ditujukan pada tantangannya barusan. Ternyata bukan.

"Temen lo mana si? Lo tuh mabuk. Cewe secantik lo gini bisa abis cuma gara-gara nantangin gitu doang, ngerti ga?"

Entah mengapa laki-laki yang bahkan namanya saja tak diketahuinya bisa memberikan afeksi semacam itu. Atau mungkin sebenarnya lelaki itu mengenalnya?

"Lo siapa sih?" Alena tak sabar, mencengkeram kerah lawannya dan menatapnya marah.

"Jeno."

"Je-no?" Alena mengulangnya, mencari nama itu di seluruh bagian memorinya. Jeno siapa? Mengapa ia familiar dengan nama itu?

Sampai ketika sosok laki-laki jangkung dengan kacamata yang setia bertengger di wajahnya itu muncul dalam ingatannya, anak Jungwoo di divisi pendamping. Angelic Jeno, julukan yang menempel padanya, yang tak pernah Alena sangka justru akan menemukannya di tempat yang penuh iblis ini.

"Angelic Jeno?" Ulang laki-laki itu. Tertawa puas setelahnya. Tampaknya seperti itulah penilaian orang-orang tentangnya. Namun malam itu penampilannya bisa dibilang jauh dari penilaian tersebut. Alena bisa melihat betapa keindahan tubuhnya tak sanggup ditutupi oleh kaos dengan belahan rendah yang ketebalan kainnya pun dipertanyakan. Serta bagaimana celananya itu memeluk kakinya dengan susah payah, dan bahwa kenyataannya malam itu ia telah menyaksikan keindahan Jeno dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Tak sampai situ saja. Entah mantra apa yang Jeno gunakan untuk membawa Alena menuju lantai dansa, membiarkan kulit gadis itu terekspos pada dunia, dan sesekali bersentuhan dengan miliknya. Mantra yang kekuatannya tak bisa ditangguhkan oleh apapun, yang membuat Alena terperangkap dalam jebakannya. Membiarkan seorang Jaemin menggantikan Jeno untuk menyetir sampai ke apartemennya, dan terlelap dalam hasutan setan sampai pagi menjelang. Menemukan satu sama lain terbangun bersisian di ranjang, tersenyum dan melanjutkan hasutan setan sampai panggilan telepon dari rekannya itu menyadarkan pada kenyataan bahwa semestinya hal ini tak pernah terjadi. Bahwa semestinya Alena telah kembali pulang dan menyiapkan diri untuk rapat divisi sore itu. Memimpin rapat di depan rekan stafnya yang memegang kunci atas segala rahasia yang terjadi sejak malam sebelumnya.

In BetweenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang