Decision

1 1 0
                                    

Entah berapa lama waktu yang Alena habiskan untuk menimbang hingga kini ia sudah ada di hadapan Mark, menghancurkan senyumnya yang tak pernah sekalipun pergi dari sana. Mark jelas tampak kecewa, meski masih ada ulas tipis senyuman yang dipaksakan. Alena tahu bukan saatnya untuk mundur dan menyesali segala keputusannya, tapi apa yang paling ia butuhkan kini justru pelukan Mark, yang mestinya tak pantas untuk sekadar dipikirkan usai meremukkan segala rasa milik laki-laki itu.

"Apa lebihnya Jaemin dari aku?"

Mark bodoh. Bahkan dalam situasi seperti ini pun yang muncul di pikirannya pertama kali adalah Jaemin. Laki-laki itu sudah dibutakan oleh Jaemin dan secara otomatis mengkorelasikan segala yang terjadi pada Alena dengan Jaemin. Padahal tidak. Sama sekali hal ini tak berhubungan dengan Jaemin, bersinggungan saja tidak.

"Ini bukan soal Jaemin." Alena angkat bicara. Tapi Mark tak terlihat percaya, tentu saja bagaimana dahinya berkerut itu tak mungkin menandakan suatu persetujuan.

Mark yang kecewa menjelaskan segala hal yang semestinya bisa ia lakukan lebih baik dari sebelumnya. Meminta maaf atas hal-hal kecil yang bagi Alena sudah berlalu bahkan mungkin sudah tak diingatnya lagi. Mark terus menyesal, meminta maaf, memohon sekuat tenaga agar diijinkan untuk memperbaiki diri dan melanjutkan perjalanannya lagi. Perjalanan cintanya dengan Alena, perempuan yang benar-benar ia cintai.

Melihat calon mantan kekasihnya itu membuat Alena ragu, ingin membatalkan permintaannya. Tetapi di sisi lain justru membuatnya semakin yakin untuk pergi, meski dengan sejuta penyesalan. Di saat seperti ini ketika pihak bersalahnya sudah jelas adalah Alena, yang dalam diam menduakan Mark di belakang, dan yang berbohong pada Mark atas nama kepanitiaan, justru Mark lah yang merasa dirinya bersalah. Alena tahu dirinya akan semakin berdosa bila melanjutkan hidup dengan Mark menggunakan pola dan cara yang sama seperti saat ini. Mark terlalu baik untuknya, dan ia tak pantas mendapatkan semua itu. Ketakutannya adalah apabila ke depannya ia akan terus menjadi perempuan jahat, yang tak pernah berubah karena tak pernah belajar untuk meminta maaf, akibat dari pasangannya yang selalu mengagungkannya dan tak memberinya kesempatan untuk menjadi lebih baik lewat tuntutan-tuntutan. Mark terlalu mencintainya, dan bagi Alena itulah masalah terbesar dalam hubungan mereka.

"Aku sayang sama kamu, Mark. Tapi secukupnya aja. Dan aku rasa sebaliknya nggak kaya gitu. Aku butuh waktu dan ruang buat belajar, buat mengembangkan diri. Kamu paham?"

Mark mengatai dirinya posesif setelah mendengar pernyataan itu. Mengatakan bahwa ia akan memberi kebebasan lebih pada Alena untuk melakukan apa yang ia senangi, dan apa yang kiranya akan membuat sibuk dan sejenak melupakan Mark. Tak masalah, laki-laki itu akan tetap menunggu.

"Aku bisa kasih kamu waktu, Len. Aku bisa kasih kamu semuanya. Tapi bukan ini cara yang bener." Mark masih berusaha menahan air matanya. Alena harus mengalihkan pandangan ke arah lain agar tak terbawa suasana dan ikut menangis di sana.

"Aku bukan cewek baik. Lebih lagi bukan cewek yang ditakdirkan buat bersanding sama kamu. Aku harap kamu ngerti bahwa sebagian dari keputusan ini juga buat kebaikan kamu. Aku pengen kita masing-masing bebas, jadi diri sendiri dan ngejar apapun tanpa harus jaga perasaan satu sama lain. Lebih berat buat aku bertahan, karna aku terus ngerasa bersalah sama kamu. Jadi mendingan kita ambil jalan masing-masing aja. Kalo ada perlu satu sama lain kita masih bisa saling sapa kan?"

Hari itu ditutup dengan mendung gelap serta hujan deras berangin kencang. Petir menyambar dan masing-masing menenangkan diri dalam sudut dunia tanpa cahaya. Mark tak pernah begitu sedih sampai pergi minum dan menggila pada malamnya. Alena juga tak pernah begitu menyesal sampai menangis lebih deras dari hujan, sebagian karena tak berkesempatan mengakhiri kisahnya dengan sebuah pelukan.

***

Me

Americano kafe biasa?

In BetweenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang