End

1 1 0
                                    

Melihat Alena di sofanya, Jeno menyesap kopinya untuk terakhir kali dan mengambil tempat di sofa sambil mulai bermanja pada gadis yang sudah duduk di sana lebih dulu. Netra Alena fokus menonton televisi, sementara tangannya mengusap-usap kepala Jeno yang merebahkan diri di pahanya. Jeno paham benar seberapa jauh kontrol dirinya saat ia tengah di sekitar Alena, yakni nyaris nol. Maka malam itu juga, seperti malam-malam sebelumnya, Jeno akan membiarkan setan dalam dirinya bekerja. Ia duduk, ganti memangku Alena dan menyesap bibirnya sebagai konsumsi tambahan usai menghabiskan kopinya. Kadang kala hawa malam memang mengandung banyak nafsu, hingga Alena yang semula menonton televisi menjadi Alena yang ditonton televisi. Baik Alena maupun Jeno membiarkan nafsu menguasai satu sama lain, melupakan segala masalah dalam hidup, melupakan siapa diri yang biasa dikenal oleh lingkungannya, dan termasuk Alena pula yang melupakan Mark. Jeno tahu dalam 24 jam sehari akan ada saat bagi Alena melupakan Mark, yakni sekitar seperempatnya ketika gadis itu tengah bersamanya dan menghidupkan dunia milik berdua yang fana dan penuh dosa.

Ada alasan mengapa ranjang Jeno beserta bantal dan selimutnya akan berbau manis di pagi harinya. Adalah karena tubuh Alena yang melekatkan aroma khasnya untuk membuat Jeno tak mampu lupa dengan apa yang selalu dilakukannya di tempat itu. Bahkan kala mentari pagi menyapa melalui celah jendelanya, Jeno tahu ada cara yang lebih baik untuk memperoleh kehangatan, yakni merengkuh Alena dengan lebih erat, menyerap hangat serta aromanya dalam-dalam. Jeno tak pernah gagal dimabukkan oleh seorang Alena, gadis yang hampir setiap malam datang untuk mewujudkan fantasi-fantasi lelaki sepertinya. Dan terkadang ia akan menyelinap pelan untuk turun dari ranjang dan menyembunyikan pakaian-pakaian Alena yang berserakan di lantai, semata-mata sebagai upaya penahanan agar gadis itu bisa lebih lama bersamanya.

Menyadari aroma yang ia damba perlahan menghilang, Jeno membuka matanya. Laki-laki itu menghembuskan napas kasar karena tahu apa yang terjadi. Ia baru saja bermimpi, memimpikan apa yang ia rindukan dari malam-malam terakhir saat ia harus menghabiskannya seorang diri hingga pagi menjelang.

Jam dindingnya menunjukkan pukul 3 sore, membuatnya lekas bangun dari tidur siangnya dan bergegas membersihkan diri sebelum berangkat ke kampus. Menyelesaikan tanggung jawab terakhirnya dalam kepanitiaan, dengan hadir dalam inagurasi.

***

"Lah? Ngapain di sini, Teh?" Jaemin menghampiri Alena yang berdiri di dekat pintu masuk gedung olahraga yang disewa untuk inagurasi malam itu. Harusnya Alena ada di belakang panggung, bersiap bersama penampil lainnya karena gadis itu mewakili panitia untuk memberikan penampilan spesial di hadapan mahasiswa baru, tapi Jaemin malah menemukannya di sini, di tempat yang tidak semestinya.

"Nungguin Lucas." Jawab Alena singkat. Membuat dahi Jaemin berkerut, begitu juga dengan otaknya. Sejak kapan Alena punya hubungan dengan Lucas sampai harus merelakan waktunya yang berharga untuk menunggu manusia berjam karet itu?

Setelah sekian lama berdiri menemani Alena menunggu Lucas, ternyata yang diharapkan belum juga datang. Malah Jeno yang melambai pada Jaemin, menunjukkan kedatangannya. Jaemin cerah, melambai balik dan seolah lupa bahwa ada sesuatu yang terjadi di antara sahabatnya itu dengan sahabatnya satu lagi yang sedari tadi ditemaninya. Saat tersadar, Jaemin tak menemukan Alena di tempatnya. Gadis itu menghilang dengan sukses, secepat cahaya, dan tanpa meninggalkan jejak.

Jaemin sempat mengobrol sebentar dengan Jeno yang masih terlihat kusut seperti hari-hari sebelumnya. Menanyakan apakah laki-laki itu bisa mengatasi semuanya sendirian karena dirinya dan teman segrupnya bisa saja datang berkunjung untuk meramaikan apartemen Jeno. Tapi justru mendapat penolakan, dengan dibumbui tawa canggung. Jaemin menggaruk tengkuk, sedikit banyak memahami arti tawa canggung yang Jeno ekspresikan barusan.

Berpura-pura mendapat panggilan dari Taeyong, Jaemin berpamitan pada Jeno dan bergegas ke arah belakang panggung, mencari Alena. Gadis yang ia cari benar di sana, duduk di salah satu sudut sambil melamun. Jaemin sedih, merasa dunianya sedang berawan gelap beberapa hari ini. Melihat Alena dan Jeno yang sama kusutnya kadang kala membuatnya ikut kusut, karena belum mampu menemukan cara terbaik memulihkan suasana. Baginya, semua cuma butuh waktu, dan rasanya kali ini sedikit panjang. Patah tulang butuh waktu cukup lama untuk sembuh dan membiarkan patahannya menyambung kembali dengan sendirinya, apalagi patah hati.

In BetweenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang