Confess

4 1 0
                                    

"Cuma ke lo doang." Jawab Jeno. Cara bicaranya tegas, tapi matanya terlihat tak fokus karena setelahnya ia terus menatap ke kaca depan dan dashboardnya bergantian. Alena tak perlu tahu betapa sulit bagi Jeno untuk mengatakan hal semacam itu. Empat kata yang membutuhkan waktu lebih dari tiga hari untuk sekadar dipikirkan.

Tadinya Jeno memancing terlebih dahulu dengan bertanya apakah Alena percaya bahwa seorang laki-laki dan perempuan tak bisa berteman saja karena pasti ada yang kalah rasa. Jeno sendiri belum terpikir sampai mana ia menginginkan obrolan ini terjadi. Tak pernah terlintas pula di benaknya bahwa ia sendiri yang ternyata terperangkap dalam umpan yang mestinya menjerat Alena sampai mati.

Alena tak percaya, tentu saja. Karena dirinya tahu betapa mampu ia mengondisikan Jaemin, Jeno, serta rekan-rekan panitianya dalam batas pertemanan yang wajar. Belum lagi kenyataan bahwa Jeno yang populer di kalangan lawan jenisnya itu kerap kali mengiakan saja ajakan berkedok pertemanan yang pada akhirnya membuat siapapun yang pernah berkesempatan berduaan saja dengan dirinya menjadi salah paham dan berharap yang berlebihan.

Lalu ketika Alena dalam pertengahan menjelaskan argumennya, dan mengatakan bahwa Jeno tak mungkin kalah rasa dengan semua teman perempuannya, laki-laki itu memotong dengan cepat. Bicara tegas seperti itu, namun meninggalkan reaksi yang membuat ambigu.

"...cuma ke gue doang?" Ulang Alena, belum seberapa yakin soal penafsirannya atas pernyataan Jeno barusan.

Jeno diam.

Satu detik.

Dua detik.

Alena masih menatap ke arah Jeno yang terlihat seolah-olah sedang fokus pada jalanan. Meski Alena kenal betul dengan Jeno dan mengetahui bahwa lelaki itu sedang berpura-pura. Daun telinganya memerah, dan Jeno tak bisa menyembunyikannya lebih lama lagi.

"Kalahnya," ujar Jeno lagi, masih tak berani menatap ke selain jalanan yang macet dan membuat mobilnya tak bergerak sama sekali. Alena ikut tak bergerak. Otaknya tiba-tiba membeku. Tak mungkin Jeno...?

"Lo tau kan-"

"Tau. Kalo lo mau ngomong soal si Mark, gue tau." Potong Jeno cepat.

Hening lagi. Jeno menggigit bibir, tangannya yang memegang kemudi saat ini berkeringat hebat. Ia sedang bergumul dengan pikirannya sendiri. Dan dalam beberapa waktu sama sekali tak ada yang bicara. Keduanya saling menunggu, sambil mati-matian menekan harapan pada titik terendahnya.

"Lo tau kan kalo di antara kita ada temboknya?" Tanya Alena ragu. Ia tak bermaksud menyakiti Jeno dengan itu, tapi laki-laki di sampingnya jelas terluka.

"Mau coba ilangin temboknya?" Dan dengan beraninya Jeno masih mengharap sebuah balasan.

"Gue seneng aja ada di deket lo. Mau secapek apa kepanitiaan kita, yang maksa buat dateng di kampus jam 3 pagi dan baru pulang jam 11 malem, atau sekeras apa tekanan dari jajaran atas yang kadang bikin mood jadi ga bener, gue ga masalah. Selama gue sadar bahwa ada lo di sana, ngalamin hal yang sama kaya gue, gue ga masalah." Lanjut Jeno. Nada bicaranya semakin yakin pada setiap kata yang terlontar sampai akhir.

"Tapi dengan ada tembok pun lo tetep tau kan kalo gue ada di tempat yang sama kaya lo? Diilangin atau engga tuh gaada pengaruhnya, Jen. Paham?"

Jeno benar-benar diam kali ini. Ia marah pada dirinya sendiri, marah pada keadaan, marah pada apapun yang bisa ia jadikan alasan untuk meluapnya emosi tersebut. Dan kemarahannya yang memuncak itu malah membuat pandangannya kabur, karena entah sejak kapan ada genangan air di pelupuk matanya. Yang kemudian ia tahan sampai mati agar tak ada setetes pun yang keluar dari sana.

"Trus kenapa lo buka pintu lebar-lebar dan ngebanting pas di depan muka gue? Kenapa lo biarin gue percaya dan... Berharap sama lo?"

***

In BetweenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang