Azlan duduk di atas kasur dan menatap Afifah yang kini sedang sibuk melipat baju-baju yang baru diangkat dari jemuran. Afifah sendiri sedang duduk di lantai dan beralaskan tikar. Wanita itu tak tahu jika kini suaminya tengah mengamati kegiatannya.
"Afifah." Panggil Azlan yang membuatnya menghentikan aktivitasnya dan mendongak menatap suaminya.
"Iya Mas?"
"Mau dibantu?" Tawar Azlan pada Afifah.
"Nggak usah Mas. Bisa sendiri kok." Tolak Afifah lalu kembali berkutat pada tumpukan baju-baju di depannya.
Azlan beranjak dan duduk di depan Afifah. Ia mengambil satu pakaian dan melipatnya. Afifah menghentikan kegiatannya dan menatap suaminya, "Mas, aku bisa sendiri. Mas istirahat aja."
"Aku bantuin. Ini banyak banget, nanti kamu capek."
Afifah hanya mengangguk dan kembali melanjutkan kegiatannya. Ia sedikit menunduk. Senyum tipis terukir di kedua sudut bibirnya. Hatinya merasa bahagia. Azlan sudah mau mengobrol dengannya walau hanya sebentar. Namun, rasanya pria itu kini lebih sering mengajaknya mengobrol. Dan kini pria itu memaksa untuk membantunya. Serta dari nada bicaranya sudah tak terdengar dingin padanya.
Kini harapan suaminya akan bisa mencintainya telah tumbuh. Ia yakin sekali jika suaminya akan bisa melupakan Maira. Karena dia yakin, kekuatan doa sangat dahsyat. Dan dia juga tahu sebuah pepatah Jawa, witing tresno jalaran soko kulino yang artinya cinta tumbuh karena terbiasa. Dia yakin, cinta akan tumbuh dihati suaminya seiring berjalannya waktu karena mereka terbiasa. Terbiasa bertemu setiap hari.
"Afifah. Kok senyum-senyum? Kenapa?" Tanya Azlan seraya melambaikan telapak tangannya di depan wajah Afifah.
Afifah tersadar dari lamunannya dan gelagapan, "Eh, kenapa Mas?"
"Kamu kok ngelamun sambil senyum-senyum? Mikirin apa?" Tanya Azlan dengan pandangan fokus pada baju di depannya serta tangannya bergerak melipat baju.
"Ehm.... Enggak. Cuma... Ehm...."
Azlan menatap istrinya, "Cuma apa?"
"Ehm... Lupain aja lah Mas. Nggak penting."
"Kok nggak penting? Apa emang? Masa nggak penting sampe senyum-senyum."
Afifah menunduk malu, "Ehm... Aku cuma seneng aja. Mas udah mau ngobrol sama aku." Katanya.
Azlan terdiam dan menghela nafas, "Maafin aku karena belum bisa mencintai kamu. Dan maaf aku belum bisa jadi suami yang baik buat kamu. Aku janji, suatu saat nanti aku akan mencintai kamu." Afifah masih menunduk dan mengangguk. Dalam hati mengaminkan kata-kata suaminya.
***
Azlan terlihat diam menatap ponselnya. Ia kini sedang melihat-lihat foto wisudanya. Dan berkali-kali ia memperbesar foto dan menatap foto Maira. Hatinya belum bisa berpaling dari Maira. Perasaannya masih untuk Maira. Dan hatinya belum juga bisa mencintai Afifah. Ia merasa bersalah pada Maira. Gadis itu pasti juga belum bisa melupakannya. Ia tahu saat Maira memintanya menerima perjodohannya dengan Afifah, gadis itu sebenarnya merasa berat untuk mengikhlaskannya.
Dari arah pintu, terlihat Afifah masuk seraya membawa sepiring kue buatannya. Ia meletakkannya di meja yang ada di depan Azlan. Afifah menatap Azlan heran karena televisi di depannya tak ditonton. Sedangkan pria itu diam melamun seraya menatap ponselnya.
Ia duduk di samping Azlan. Pria itu masih belum tersadar jika di sampingnya Afifah telah duduk, "Mas." Panggil Afifah seraya menyentuh pundak suaminya, diikuti ekor matanya melirik ke layar ponsel Azlan.
Azlan tersadar dari lamunannya. Ia segera mematikan ponselnya dan meletakkan di atas meja saat tahu Afifah telah duduk di sampingnya.
"Mas, ini aku bikin kue. Cobain." Katanya seraya mengangkat sepiring kue buatannya di depan Azlan.
"Iya. Nanti aku makan." Jawab Azlan lalu mengganti channel televisi di depannya.
Afifah mengangguk dan meletakkan kembali sepiring kue itu. Ia diam sejenak. Saat melirik ke arah ponsel Azlan tadi, di layar ponsel pria itu terdapat foto suaminya dan masa lalunya. Maira. Kini ia merasa cemburu karena rasa cinta dihatinya semakin besar.
"Mas. Masih mikirin Maira?" Tanyanya yang membuat Azlan menoleh. Pria itu hanya diam menatapnya, bingung ingin mengatakan apa.
"Mas bingung ya aku tau dari mana? Aku pernah denger kamu sama Daffa ngomongin soal Maira." Tambahnya. Azlan masih diam.
"Maaf Mas." Ucap Afifah dengan mata berkacah-kaca.
"Maaf karena perjodohan ini membuat kalian tersakiti. Memang seharusnya aku nggak terima perjodohan ini. Aku merasa bersalah sama kamu dan Maira." Katanya lalu setetes air mata jatuh dari pelupuk matanya. Sedangkan suaminya masih terdiam.
"Mas, aku ikhlas. Aku ikhlas kalo kamu mau ceraikan aku. Kamu berhak bahagia sama Maira." lanjutnya. Kini air matanya semakin deras. Ia terisak dan menunduk.
Azlan menangkup wajah Afifah dan menatap matanya. Ia menghapus air mata istrinya yang sedari tadi mengalir deras, "Maafin aku. Maafin aku karena belum bisa mencintai kamu dan belum bisa lupain masa laluku. Aku nggak akan menceraikanmu. Pernikahan bukan untuk main-main."
"Maaf karena aku masih teringat Maira. Kamu denger aku, sekarang kamu masa depanku. Maira masa laluku. Tapi beri aku waktu untuk mencintai kamu."
Afifah hanya diam dengan air mata yang tetap mengalir. Azlan mendekap tubuh istrinya, berharap wanita itu bisa tenang dan bisa memaafkannya. Sedangkan Afifah semakin terisak dan menumpahkan air matanya hingga membasahi dada suaminya.
"Maafin aku Afifah." Ucap Azlan seraya mengelus kepala Afifah.
Afifah melepaskan pelukan suaminya. Ia menghapus air matanya dan mengangguk. Dia paham, tak mudah untuk melupakan seseorang yang pernah singgah dihati. Semua butuh waktu. Dan Afifah yakin, dengan berjalannya waktu suaminya akan bisa mencintainya.
"Udah yah jangan nangis. Maafin aku." Afifah mengangguk.
"Mau aku kasih tau rahasia nggak?" Tanya Azlan seraya tersenyum.
"Apa?"
Azlan mendekatkan wajahnya ke telinga Afifah dan membisikkan sesuatu, "Maaf udah buat kamu sedih. Aku janji akan mencintai dan menyayangi kamu." Bisiknya.
Dan cup. Satu kecupan mendarat di pipi Afifah. Sedangkan Afifah diam, tak berani menoleh. Pipinya kini terlihat memerah dan jantungnya berdetak di luar batas normal. Azlan menolehkan wajah Afifah padanya dan tertawa.
"Kok ketawa?" Kesal Afifah.
"Kamu lucu." Jawab Azlan diiringi tawa.
"Hah? Apa yang lucu?"
"Pipi kamu merah." Afifah segera menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia kini sangat malu.
"Kamu kenapa sih main cium aja." Tanya Afifah dengan perasaan sedikit malu.
"Suka-suka aku. Kan kamu istriku. Bebas dong." Jawab Azlan.
Afifah tersenyum di balik kedua tangannya yang masih menutupi wajahnya. Mendengar kata "kamu istriku" membuatnya bahagia. Karena selama ini Azlan menganggap dirinya seperti bukan istrinya karena sikapnya yang dingin. Dan ia yakin, sikap suaminya perlahan menghangat karena doanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suratan Takdir dari Arsy [SUDAH TERBIT)
SpiritualStory by Elkhusna & DevitaNazula Romance-Spiritual Menuntut ilmu di pesantren yang sama namun tak saling kenal, lalu dipertemukan di kampus yang sama dan menjadi sahabat. Dari yang awalnya biasa saja hingga perasaan yang biasa itu berubah menjadi ra...