Maira terlihat menyibukkan dirinya dengan murojaah beberapa ayat yang telah dihafalnya agar kuat dalam ingatannya. Ia tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan dan hidupnya hanya dihabiskannya dengan bersedih. Karena hal itu adalah sia-sia. Jika bukan dengan menyibukkan diri, ia mungkin hanya diam dengan raut wajah murung.
Ia berhenti murojaah saat mendengar suara ketukan pintu. Terdengar suara Azam dari balik pintu memanggil namanya. Ia segera meletakkan Al-Qur'annya dan mendekati pintu. Dia membuka pintu dan telah berdiri Azam seraya membawa dua kertas yang masing-masing terbungkus plastik. Bukan kertas biasa. Namun undangan.
Melihat benda itu, ia sudah paham bahwa salah satu dari dua undangan itu adalah undangan pernikahan Azlan.
"Ini ada undangan buat kamu. Langsung dua pula." Kata Azam.
Maira hanya mengangguk dan menerima undangan itu. Ia lantas kembali menutup pintu kamarnya dan menyandarkan tubuhnya pada pintu. Dadanya mulai merasa sesak dan matanya berkaca-kaca. Dibukanya undangan itu satu persatu dan matanya membulat sempurna saat melihat nama pengantin di kedua undangan itu sama.
Air matanya mengalir begitu saja hingga membasahi undangan ditangannya. Ia terisak dan melempar dua undangan itu. Dia tak menyangka, Azlan dijodohkan dengan temannya sendiri. Teman yang tempo hari menolongnya saat ia lupa membawa dompet. Teman yang awalnya memang tak kenal, namun diperkenalkan karena kebaikan hatinya pada Maira.
"Kenapa?" Gumamnya.
"Kenapa dia harus dijodohkan dengan orang yang aku kenal." Tambahnya dan semakin terisak. Ia menenggelamkan wajahnya di kedua lututnya dan menumpahkan semua air matanya.
"Ya Allah. Kenapa hati ini begitu sakit?"
Ia tahu, dia terlalu berharap pada Azlan. Hingga Allah cemburu dan mematahkan hatinya. Namun hal yang benar-benar membuat hatinya sakit adalah ternyata Azlan dijodohkan dengan Afifah. Dan ia harus menghadiri dua undangan. Akankah ia kuat? Mengetahui Azlan dijodohkan saja dia patah hati. Apalagi jika nanti saat melihat orang yang dicintainya duduk bersama temannya di pelaminan?
"Maira." Panggil Azam dari luar karena mendengar suara isakan sang adik.
"Kamu kenapa? Kamu nangis?" Maira masih belum menyahut.
Gadis itu masih terisak dan menumpahkan segala rasa sakitnya. Ia masih saja menenggelamkan wajahnya pada kedua lututnya.
Azam yang khawatir pun memutar engsel pintu kamar Maira dan hanya terbuka sedikit karena terhalang oleh Maira yang kini sedang duduk dibaliknya dengan isak tangis masih belun reda. Azam mencoba melihat ke dalam kamar Maira walau pintu kamar Maira hanya terbuka selebar dua senti. Ia mendengar tangis Maira yang suaranya tepat dibalik pintu.
"Maira, biarin Mas Azam masuk." Pinta Azam.
Maira mengangkat wajahnya dan menoleh ke arah celah pintu. Ia menyingkir dari balik pintu dan membersihkan air matanya yang membasahi kedua pipinya.
Azam membuka lebar pintu kamarnya dan duduk di depannya. Pria itu terlihat sangat cemas melihat keadaan adiknya.
"Kamu kenapa? Cerita ke Mas Azam." Tanya Azam. Maira hanya diam dengan air mata kembali menetes.
Ia lalu mengalihkan perhatiannya ke arah dua undangan yang berceceran di lantai dan membacanya. Ia membaca dua undangan tersebut dan menemukan nama pengantin pada dua undangan tersebut sama. Pria itu mengerti sekarang. Maira menangis setelah membuka kedua undangan tersebut karena Hulya bercerita beberapa waktu lalu Maira menangis tanpa alasan yang jelas. Dan ditanyakannya pada sang ibu apa yang terjadi pada adiknya. Ternyata gadis itu sedang patah hati.
Seharusnya ia tak memberikan dua undangan itu tadi agar Maira tak menangis seperti sekarang. Ia tak tega melihat adiknya menangis. Dia mendekat dan memeluk Maira agar tenang. Ia tahu, gadis itu kini butuh tempat yang nyaman agar tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suratan Takdir dari Arsy [SUDAH TERBIT)
EspiritualStory by Elkhusna & DevitaNazula Romance-Spiritual Menuntut ilmu di pesantren yang sama namun tak saling kenal, lalu dipertemukan di kampus yang sama dan menjadi sahabat. Dari yang awalnya biasa saja hingga perasaan yang biasa itu berubah menjadi ra...