1.1 : Diskusi destinasi paralayang & desas-desus dari papa.

474 92 11
                                    

Pagi ini mereka akan kembali ke Malang. Sejak fajar mereka sudah menikmati pemandangan puncak mega sepuasnya. Menyaksikan matahari terbit dari sana adalah bagian yang paling berkesan.

Kicauan burung dengan perpaduan suara jangkrik membuat mereka semua seketika berdiam tenang, suasana terasa lebih fresh lagi ketika masih ada embun yang mengalir dari daun ke permukaan tanah. Matahari membiarkan sinarnya menyapa pori-pori kulit, alih-alih merasa terganggu dengan teriknya, mereka justru menikmati kehangatannya.

Tahu sendiri kan kalau panasnya pagi itu sangat berbeda?

Namun, selain memanjakan mata dengan pemandangan, mereka juga sedang mengamati keramaian yang ada di seberang sana.

Itu tim olahraga paralayang.

Tapi kelihatannya mereka tidak akan melakukan aksi terjun payungnya kali ini, mereka terlihat seperti sedang memberikan tawaran aktivitas di udara itu kepada gerombolan pendaki yang sedang berkumpul di sana.

Salah satu dari anggota paralayang yang merupakan teman lamanya Janu menawarkan satu penawaran menarik. Meminta Janu dan teman-temannya untuk mencoba wisata pemacu adrenalin ini. Parasut yang bisa ditumpangi oleh dua orang itu kebetulan akan mendarat di Lapangan Cimaung Jagabaya, melewati lokasi starting point mereka saat memulai pendakian.

“Jadi, keputusannya guys?” Janu bertanya.

“Seru, sih! Kalau naik paralayang gini bisa sampe ke lokasi awal lebih cepet. Perjalanan pulang ke Malang juga bakal lebih singkat.” Heksa tampaknya tertarik dengan penawaran ini.

“Nggak di lokasi awal lagi, Sa. Mendarat di Lapangan Cimaung katanya. Udah keluar dari daerah situnya.” Jelas Janu.

“Tapi barang-barang apa kabar woy! Gamungkin dibawa ikut terjun juga kan?” berbeda dengan Heksa, kemungkinan Jihar tidak setuju dengan penawaran ini.

“Dan mobil kita ... gue nggak parkir di lapangan bola itu woy! Percuma. Nanti juga kita harus balik lagi ke parkirannya.” Yogi ikutan tidak setuju.

“Aduhh para cowok! Nggak lihat itu ada helikopter disana. Barang-barang bisa lah diantar pake itu. Terus masalah balik ke parkirannya, nggak kepikiran buat naik angkut apa?” dengan kesal, Zia membantah pertidaksetujuan kedua lelaki itu.

“Iya. Malah dibikin ribet aja. Bilang aja lo pada gaberani naik paralayang.”

Jihar langsung melotot ke arah Shella ketika kalimatnya secara tidak langsung menjatuhkan image kegentle-lannya sebagai laki-laki.

“Berani, ya. Ngeremehin banget, sih, lo!” telak Jihar yang langsung mendapat juluran lidah dari Shella.

“Ini paralayang memang tujuannya dijadikan sebagai alternatif lain buat turun dari gunung juga, sih. Mungkin kedengarannya baru dan aneh, tapi menurut gue mah menarik tuh!” jelas Janu sambil berpendapat.

“Terus bener kata Zia. Itu helikopter emang digunain buat antar barang si peterjun, nanti di spot pendaratan ada tim yang urus-urus barang begituan.” Lanjutnya.

“Menarik banget sih uwuwuw.” Wida tiba-tiba menarik lengan Yogi yang kebetulan berada di sebelahnya. Yogi sudah menghela napas duluan.

Wida menggodanya. “Yuk, Mas, dicoba!”

Karena lengannya sudah tergeret duluan oleh Wida, Yogi hanya bisa menunjukkan raut wajah memelas dengan bola mata yang diputar malas.

“Widdddd, gue belum kasih keputusan setuju apa nggaknya.” Keluhannya langsung dibalas dengan decakan oleh Wida, yang berarti tidak ada alasan untuk membantah lagi.

Relasi Takdir.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang