(6) Enam

104 9 2
                                    

Waktu berjalan begitu cepat, dan tidak terasa hari ini adalah Last Ceremony bagi Kayla dan kelas XII lainnya. Pelaksanaannya sangat terkontrol dengan baik, bagaikan upacara bendera di Istana Negara.

Setelah upacara itu selesai, para siswa saling bertukaran bunga, snack, dan juga bersalam-salaman. Semuanya terlihat sederhana tapi terencana agar semuanya berjalan dengan baik. Suka duka bisa terlihat, ada yang tertawa ria, ada juga yang menangis tersedu-sedu.

Namun, disisi lain selepas pelaksanaan upacara bendera tadi, Kayla dan Balqis lebih memilih berteduh di bawah pohon. Namun, Balqis tadi pergi entah kemana dan belum juga kembali.

Hanya sekedar menyaksikan tak turut serta dalam kerumunan, bukan apanya dalam kerumunan tersebut bukan hanya sekadar Ikhwan saja atau akhwat saja namun, bercampur baur antara keduanya. Dan Kayla serta Balqis berusaha untuk menghindari itu. "Waktu terlalu cepat berjalan," lirihnya, dengan wajah yang murung.

"Jangan selalu menuntut bahwa waktu yang bersalah, kita saja yang terlalu sibuk sehingga waktu itu terasa begitu cepat," ujar seseorang.

Kayla sempat menoleh ke sumber suara, wajah pria itu dihalangi oleh sebuah bucket bunga yang cukup besar. Namun, Kayla mengenali persis suara itu. "Udah Zill, kamu mau bicara apa?" tanya Kayla tanpa basa basi. Ia tidak sedang berdua-duan. Sebab, ini tempat terbuka. Banyak siswa(i) yang lalu lalang.

Mendengar itu Zill semakin merasa bingung dengan sikap Kayla yang kian berubah sejak kejadian waktu itu. Ia pun duduk agak berjauhan dengan Kayla. "Saya lebih suka Kayla yang dulu, gadis ceroboh," lirih Zill.

"Sama halnya dong, kamu suka saya mempermalukan diri sendiri," ujar Kayla.

Rasanya setiap kata yang keluar dari mulut Zill itu selalu salah di mata Kayla. "Bukan begitu," tegas Zill.

Kayla hanya bercanda dengan ucapannya, tidak bermaksud untuk membuat Zill terus merasa bersalah. Ia masih belum bisa menjelaskan apa-apa pada Zill. Sebenarnya Kayla juga merasa kasian, seorang Zill menjadi terus merasa bersalah. Padahal ia tidak melakukan apapun.

"Santai aja, saya cuman ngetes doang," tutur Kayla dibarengi dengan senyuman, mengingat ekspresi lucu Zill.

Kayla pun beralih, untuk menulis sebuah surat di lembaran kertas. "Assalamu'alaikum calon imam, saya berharap kamu tidak akan pernah merasa bosan jika menjadi imamku kelak." Kayla menulis kata itu di sebuah kertas yang ingin dia ikat ke tali balon lalu di terbangkan, mungkin ini seperti hal konyol. Mungkin saja surat itu hanya hancur sia-sia karena terkena air hujan, tanpa ada yang
baca-karena sebaik-baik tempat mengadu adalah kepada Allah.

Kayla membaca surat tadi terlalu keras sehingga tiba-tiba ada seorang pria menjawab salam itu. "Wa'alaikumussalam, kamu tadi nyebut nama saya kan?" tuturnya.

"Maaf, kamu mungkin salah dengar." Kayla bingung, apa yang dimaksud orang tadi.

"Nama saya Imam, kamu tadi nyebut Imam kan?" ujarnya. "Ini nomor ponsel saya, kalau ada sesuatu hubungi aja," lanjutnya sambil tersenyum, dan menyerahkan secarik kertas yang tertulis nomor ponsel dan namanya.
The Real IMAM
085342******

"Saya pergi dulu," ujarnya lagi sambil tersenyum. Dia berceloteh terus dan tidak memberikan Kayla celah untuk berbicara. Kayla hanya mengangguk, dengan ekspresi yang kebingungan.

Ketika pria yang bernama IMAM itu pergi, tawa Zill pecah mengingat kejadian tadi. "Pffftttttt."

"Zill, baca ini deh!" Kayla memperlihatkan secarik kertas tadi, pada Zill.

Tawa Zill semakin pecah ketika melihat isi kertas itu.

"Apanya yang lucu coba? Aneh!" lirih Kayla.

"Kayaknya dia itu jawaban dari surat tadi," ledek Zill.

IMAM Untuk KaylaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang