17. Putri Cahaya

144 8 0
                                    

'Aku bermimpi tentang sebuah dunia,

di mana aku melihat seluruh tanahnya terbuat dari cahaya.'

*

"Dari mana saja kau? Kami tidak melihatmu di mana-mana semalam," celetuk salah seorang siswa Ruby yang masih belum terlalu Ivaline kenal saat gadis itu berjalan memasuki ruangan yang biasa mereka pakai untuk berkumpul

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Dari mana saja kau? Kami tidak melihatmu di mana-mana semalam," celetuk salah seorang siswa Ruby yang masih belum terlalu Ivaline kenal saat gadis itu berjalan memasuki ruangan yang biasa mereka pakai untuk berkumpul.

Avi ternyata sudah memperkirakan sesuatu berjalan sampai sedetail ini, hingga ia juga sudah menyiapkan jawaban untuk Ivaline seandainya hal ini terjadi—yang memang benar terjadi sesuai perkiraan.

"Tugas lain oleh Pangeran Shavian," jawab gadis itu singkat, sesuai dengan arahan Avi. Orang yang tadi bertanya pada Ivaline langsung terbungkam. Melihat siswa Ruby itu tampaknya tidak hendak mengatakan apa-apa lagi, Ivaline melangkah pergi.

"Kau terlihat aneh dibanding kemarin," celetuk Arinoe saat gadis itu berjalan melewatinya, lalu mengambil posisi duduk terjauh di pinggir sudut meja.

Ivaline menggeleng samar. "Aku baik-baik saja," ucapnya datar.

Tubuhnya memang masih terasa lelah. Namun rasanya tenaganya sudah pulih jauh dibanding ketika ia pingsan semalam. Ivaline belum mencoba kekuatannya sejak tadi, jadi ia belum bisa memastikan apakah kekuatan sihirnya sudah bisa digunakan seperti sebelumnya.

Akan tetapi, ia rasa kekuatan sihirnya akan baik-baik saja.

Beberapa menit berselang sejak Ivaline datang dan mencoba kembali membaca buku yang dibawanya, ketika Rad muncul di muka pintu.

"Gerbang portalnya sudah cukup stabil. Bersiaplah, kita akan kembali ke akademi sebentar lagi."

Beberapa anak terlihat menghela nafas lega. Semua bisa memaklumi hal itu. Kejadian kemarin adalah sesuatu yang tidak disangka dan bukan hal mudah untuk melewatinya dengan hati yang tetap teguh. Akademi Vetian, betapa pun kerasnya pendidikan di sana, masih lebih baik jika harus bersiaga sepanjang waktu dengan kemungkinan tak pasti.

Ivaline kembali memaku matanya ke lembaran-lembaran yang terbuka di atas hadapannya. Namun, pikirannya sama sekali tidak fokus ke sana. Rasanya, ada hal lain yang kini menaut benaknya.

"Sudah mau kembali?" tanya Avi saat mereka berpapasan. Ivaline sedang seorang diri di sana—sengaja karena ia memang sedang ingin berkeliling keluar sebentar sambil menunggu mereka dipanggil lagi. Tubuhnya perlu sedikit dilemaskan.

Ivaline menganggukkan kepalanya dengan cara yang anggun, tak lupa sedikit membungkukkan badan kepada orang di depannya—sikap hormat.

"Terima kasih atas semua bantuan Yang Mulia." Ivaline ingat ia belum berterimakasih sejak kemarin. Selagi saat ini mereka bertemu, Ivaline merasa harus menyampaikannya meski rasanya terlambat.

"Tidak masalah. Kamu juga sudah melakukan banyak hal—coba lihat ke arah sana," kata Avi sambil mengedikkan dagunya ke arah di belakang Ivaline. Gadis itu berbalik, mendapati langit yang dibatasi pepohonan. Melayang-layang bagai selaput tipis beruap di atas pucuk-pucuk pohon itu adalah sisa kabut gelap semalam. Intensitasnya tentu sudah tak sepekat kemarin, begitu juga area persebarannya.

A Land Full of LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang