Festival Sekolah

18 4 0
                                    

Hari ini festival dimulai. Kami bertiga berkumpul di kelas terlebih dahulu. Beberapa teman sekelas kami juga masih ada di kelas, berbincang sambil mempersiapkan diri.

"Bagaimana, kalian sudah siap?" Tanyaku memastikan.

"Memangnya kita akan pergi untuk berperang?" Celoteh Edwin, mengejek.

"Aku kan hanya bertanya, siapa tahu kalian belum siap. Dasar."

"Maafkan aku, Nona Carmoisine." Ucap Edwin sambil memelas, aku hampir memukul keningnya dengan helm yang kubawa.

Ivy hanya tersenyum tipis melihatku merasa kesal. Apakah aku yang kesal ini terlihat kekanak-kanakan? Aku segera mengubah ekspresi wajahku menjadi lebih santai, kemudian ikut tersenyum.

Satu persatu teman sekelasku keluar bergantian. Aku mengajak Edwin dan Ivy untuk juga segera keluar. Lagi-lagi aku berjalan di depan, mereka melangkah sejajar. Astaga, tawaku hampir pecah.

Lapangan utama telah dipenuhi peserta dari kelas lain. Sepertinya kami nyaris terlambat. Panitia berdiri hendak menyampaikan sesuatu.

"Pertama-tama, saya akan membacakan peraturannya,"

"Pertama, peserta membawa sepeda sendiri-sendiri," Memang begitu bapak panitia.

"Memakai helm keselamatan dan tertib saat berkendara."

Panitia selesai membacakan peraturan, aba-aba dikumandangkan. Seluruh peserta dari tiap-tiap kelas melaju dengan tertib. Kami mengayuh sepeda mengikuti rute yang telah diumumkan sebelumnya.

Kami melewati padang rumput hijau yang luas. Dua tiga ekor domba nampak sedang menikmati rumput hijau segar. Udara di sini sangat sejuk, langit biru cerah menjadi pelengkap keindahan padang rumput ini.

"Ra, apa yang kalian bicarakan kemarin?" Tanya Edwin agak keras.

"Akan kuberitahu setelah kita sampai di sekolah."

"Maksudnya?" Tanyaku bingung.

Tidak mungkin Miss Carlton tahu jika kami saat itu sedang memperhatikannya.

"Saya tahu kamu mengerti ucapan saya tadi." Ucapnya dengan serius.

Kulihat beberapa kabut hitam tipis menyelimuti kami. Tipis sekali, namun aku masih dapat melihatnya.

Jangan-jangan beliau hanya berpura-pura kemarin dan berniat menjebakku sekarang.

Kabut hitam itu mulai menebal dan semakin pekat. Tidak mungkin. Apakah ini akhir hidupku?

Tentu saja tidak, Allura. Kau tidak boleh terlihat dramatis seperti Edwin. Karena ini kesempatan untuk mengetahui segalanya.

Kau harus tenang. Batinku.

Namun semakin aku tenang, kabut hitam itu semakin pekat. Aku berpikir jika...

"Ya benar, itu dari dirimu sendiri." Ucap Miss Carlton.

Aku terkesiap mendengar hal itu. Bukankah itu mustahil? Namun tidak bagi Miss Carlton. Beliau terlihat sangat misterius dengan senyum ramahnya itu.

Dadaku bergemuruh kencang seiring kabut itu melingkupi kami, tepatnya diriku.

Lalu Miss Carlton menjetikkan jarinya dan semua kabut itu hilang. Lenyap tanpa bekas.

Beliau segera bangkit dari duduk. Namun sebelum itu dia berkata, "Bersiaplah."

Edwin terlihat kesal dengan ucapanku. Dia mengayuh sepedanya lebih cepat sambil mengerucutkan bibirnya ke depan.

VinelandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang