bagian 4

39 2 0
                                    

Entah sudah berapa jauh, wanita malang itu melangkah pergi meninggalkan kediaman mantan suaminya. Yang pasti, kedua kakinya sudah sangat pegal dan tak sanggup lagi berjalan. Sesekali menghapus air mata di wajah cantiknya, segera memelankan langkah dan berhenti di depan ruko didepannya. Karena kini tak lagi mampu mengabaikan rasa sakit dan juga pegal di kakinya. Menoleh ke arah tong sampah, tersenyum manis segera mengambil sesuatu yang sedikit berguna baginya. Ya, ada beberapa lembar koran yang baru saja dibuang oleh pemiliknya. Karna, tidak mungkin baginya akan menambah penderitaan lain buat calon anak yang bersemayam di dalam rahimnya.

"Kenapa tidak menghubungiku?"

"K kau?"

"Maaf, tadi sebenarnya aku enggak sama sekali langsung pulang, karna firasatku mengatakan, akan ada sesuatu yang buruk menimpamu. Dan sekarang lihatlah! karna ulahku kamu mengalami ini semua. Senja, tolong maafkan aku, sekarang ikutlah denganku, kamu nggak mungkinkan akan tidur di sini?"

Bergeming, dia bingung harus menjawab apa.

"Ini akan lebih baik darpada aku harus ikut denganmu, sebab itu bukan hal yang benar."

Bergerak mulai menggelar lembaran koran, untuk mengalasi tidurnya nanti. "Di sini akan lebih baik, kita bukan muhrim, aku gak mau nanti malah jadi masalah yang lebih rumit."

"Ja, apa kamu akan selamanya tidur di jalanan seperti ini? Enggak kan? Ayolah, sekarang kamu ikut aku pulang, nanti setelah kamu merasa baikan aku janji, bakal nyariin tempat tinggal yang layak buat kamu. Kalau takut serumah denganku yang kamu persoalkan, tapi sekarang aku memohon sebagai sahabat, ikutlah denganku."

Setelah berpikir sejenak, dia mengangguk "baiklah, aku bersedia ikut mas Tio"

Senyum mengembang, di bibir pria itu, manis sekali, ahh! Kenapa malah berfikir yang tidak-tidak. Segera menepis pikiran yang melintantas dengan tak tau dirinya, dia segera bangkit dari duduknya.

~

Pov Langit

Menatap nanar pada semua barang milik sang istri, ah tidak, bukankah barusan dia telah menjatuhkan talak pada wanitanya itu. Pikirannya jauh melayang, bagaimana wanita itu akan makan? Tidurnya? Bukankah tadi saat menatapnya, begitu nampak kalau wanita itu terlihat pucat? Ohh! Mungkin saja karna mereka terlalu lelah karna bepergian berdua seharian.

'Sial'

Pria itu merasa kecolongan, disaat dia merasa sangat bahagia dengan pernikahannya, justru wanita itu malah mempermainkannya. Lalu kenapa harus menerima pinangannya kalau akhirnya cuma berakhir dengan pengkhianatan.

Berteriak marah, pria itu menghancurkan segala yang ada di sekitarnya. Untuk pertama kalinya peia itu menangis karna seorang wanita. Ya, wanita yang begitu dia puja, yang begitu dia harapkan menjadikannya satu-satunya. Dan pastinya, sangat diharapkan menjadi ibu dari anak-anaknya, tapi lihatlah sekarang, bahkan dengan hinanya berboncengan hujan-hujanan bahkan berpelukan dengan mantan kekasihnya, atau mungkin malah masih menjadi kekasihnya. Itu semua terlihat begitu jelas di depan matanya.

"Kenapa bibi terima? Harusnya ini semua biarkan saja dia bawa bi"

"Tadi saya sudah mengatakan begitu pada nyonya, tapi nyonya kekeuh nggak mau membawa yang bukan haknya tuan"

Kenapa jiwanya harus teriris menatap barang-barang milik mantan istrinya itu? Bukankah seharusnya dia senang, sebab diketahui ketika masih dini. Tapi kenapa? Ada apa dengan jiwanya yang justru berontak dengan semua tindakan yang barusan dia lakukan? Seakan ada yang salah dengan keputusannya kali ini, tapi pria itu tidak mengetahui apa yang salah dari semua perasaan ganjil ini.

~

"Silahkan masuk, sampai kapan kamu akan berdiri di depan pintu kaya penagih hutang begitu huh?"

Mengayunkan langkah memasuki rumah yang cukup besar, wanita itu jelas sekali merasa kikuk, mengingat dulu dia sering datang ke rumah ini.

"Di mana mama kamu mas?"

"Biasanya jam delapan malam mama sudah tidur, beliau jarang tidur lewat dari jam segitu."

"Kita makan dulu ya, sepertinya kamu belum makan dari tadi siang?"

"Gak usah mas, aku enggak laper"

"Ayolah Senja, aku tau kamu laper, buktinya perut kamu bunyi tuh"

"Emm, baiklah mas, tapi ijinkan aku membersihkan diri dulu mas, "

"Baiklah, ayo aku anter ke kamar kamu, oh iya! Kamu pake baju adek aku ya, kamu gak bawa baju soalnya"

"I iya mas, maaf terlalu banyak merepotkan mas," merunduk sambil saling meremas kesepuluh jari tangannya.

Setelah dirasa sudah agak segar usai membersihkan diri, wanita itu menyusul sahabatnya ke dapur, yang ternyata sedang memasak untuk makan malam mereka.

"Ah, kamu mengagetkanku Ja, ayo duduklah bentar lagi selesai"

"Makasih mas,"

"Kamu jangan pernah bilang makasih Ja, bukankah ini memang yang seharusnya dilakukan oleh seorang sahabat, jika melihat di antara mereka ada yang membutuhkan dukungan?"

"Tapi aku gak tau mas, dengan cara apa aku bisa membalasnya"

"Cukup dengan kamu bahagia aja itu udah suatu balasan terbaik darimu Ja,"

Duduk berhadapan di meja makan itu, setelah usai membereskan peralatan makan wanita itu kembali menangis. "Sebenarnya hari ini aku ingin kasih dia kejutan mas, tapi semua malah berakhir menyedihkan hikss..,"

"Aku hamil mas, anak ini begitu dinantikan oleh mas Langit dan keluarga besarnya"

"Dan kamu tadi gak berusaha mengatakannya?"

"Enggak sempat, karna memang gak ada kemampuan untuk bicara, apalagi dengan melihat marahnya mas Langit,..."

"Sudahlah, semua akan baik-baik saja"

~

Pagi pertama menginap di kediaman sahabatnya, Senja berinisiatif  membuat sarapan untuk seisi rumah itu. Bikin nasi goreng kesukaan suaminya, ah bukankah sekarang bukan lagi suami, melainkan hanya mantan suami? Ya mungkin saja Senja telah lupa, bahkan di sini saja tidak ada lelaki yang dia fikirkan semalaman ini. Bahkan mungkin saja pria itu sedang sibuk mengurus berkas perceraian mereka, saking tak ingin lagi ada hubungan apapun yang  berbentuk apapun juga.

Suara langkah sepatu yang menderap mendekat, bunyi kursi yang terseret, membuktikan bahwa kegiatan penghuni rumah ini telah dimulai.

"Kamu yang memasak ini?" Menatap sahabat yang berdiri di seberang meja sambil tersenyum, pria itu mengambil nasi memindahkan ke piring makannya.

"Iya, maaf aku tadi memasak apa yang terlintas di fikiranku, karna aku gak tau apa kebiasaan sarapan kalian" menundukkan kepala dia tak ingin menatap pria itu.

Tersenyum miring Tio hanya menganggukkan kepala, karna mulutnya penuh dengan suapan nasi goreng yang ternyata begitu lezat di lidahnya.

"Aku akan suapin tante mas"

"Gak usah, sudah ada mbak Tri yang selalu siaga di samping mama, ayo kita sarapan bersama, gak baik buat calon keponakan aku di dalam sana kalau bundanya selalu telat makan"

"Iya mas" menarik kursi dan duduk di seberang mantan yang sekarang dianggap sahabatnya itu, kecanggungan masih nampak di antara mereka.

~

Melangkah menuruni anak tangga pria itu berhenti sejenak saat mendapati bungkusan plastik diatas meja makan, tangannya segera membuka isinya, matanya terbelalak kala sepasang netra itu mendapati bungkusan susu ibu hamil didalamnya, dan beberapa obat-obatan yang masih terbungkus rapi.

"Itu saya temukan di deket pagar depan tuan"

"Mungkin punya orang lewat yang kemudian jatuh bi"

"Tapi ada di pagar bagian dalam halaman tuan"

"Wait, hubungan mereka sudah sejauh itu berarti" mengepalkan tangan kuat pria itu bergeming.
Merasa dikhianati.

Next?


Langit Senja Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang