Prang!
Suara benda-benda yang pecah terdengar menggema di seluruh rumah apartemen yang tidak terlalu luas itu. Sepasang suami istri sedang berdebat entah tentang apa karena yang keluar dari mulut mereka setengahnya adalah umpatan dan teriakan. Baik suami ataupun istri tidak ada yang berniat mengalah atau sekedar menurunkan nada bicara mereka, seolah enggan untuk menyelesaikannya. Tidak peduli pada eksistensi lain di rumah itu yang saat ini sedang berusaha menutup telinga dengan dua tangan.
Anak mereka.
Anak laki-laki itu sudah cukup dewasa untuk mengerti apa yang sedang terjadi. Sudah cukup dewasa untuk mengerti apa yang menyebabkan kedua orangtuanya bertengkar hebat hingga membanting perabotan. Mungkin seharusnya anak itu tidak bertanya apakah dia boleh kuliah atau tidak ketika keluarganya sedang kesulitan uang. Mungkin seharusnya dia diam saja.
Mungkin seharusnya dia tidak pernah bermimpi untuk melanjutkan pendidikan dan menjadi mahasiswa.
"Ini salahmu! Seharusnya kau hasilkan uang lebih banyak!" tuding si ibu.
"Hah! Apa katamu!? Coba jelaskan padaku siapa yang hobi menghamburkan uang!" bentak si ayah tidak mau kalah.
Sebenarnya ini bukan sepenuhnya salah anak itu yang bertanya untuk kuliah hingga orangtuanya berselisih. Suami istri itu memang sudah lama tidak cocok satu sama lain dan hampir setiap hari terjadi pertengkaran.
Tidak tahan, anak lelaki itu –ah mungkin sebut saja pemuda karena dia sudah hampir lulus dari SMA pergi dari rumah dengan membanting pintu. Dia bahkan belum sempat mengganti seragamnya dengan pakaian rumah.
Pemuda itu hanya berlari tanpa tujuan, menggesek kasar air mata yang mengalir di pipinya.
Dia berhenti di sebuah gang sempit yang tampak kumuh dengan banyaknya kantong sampah yang berserakan. Bau, kotor, dan berantakan.
Sama berantakannya dengan keadaanya sekarang. Pemuda itu hanya memeluk lutut dan menangis dalam diam. Tempat ini sempurna untuk menyembunyikan rasa sakitnya, menyembunyikan pundak lemahnya yang gemetaran. Dia diam di sana cukup lama, bahkan ketika hujan mulai turun pun pemuda itu enggan untuk bangkit. Membiarkan sekujur tubuhnya basah.
Hingga ketika tiba-tiba tak dirasakan lagi tetesan air di tubuhnya, pemuda itu mendongak. Mendapati seseorang sedang melindunginya dengan sebuah payung di tangan.
Orang itu tersenyum cerah. Begitu cerah sampai dia berpikir apakah matahari telah turun ke bumi, menghapus hujan dan menghangatkan bukan hanya tubuhnya tapi juga hatinya yang telah lama beku.
"Ayo pulang, Kak Heesung!"
Sejak saat itu atau mungkin sudah sejak lama sebelumnya, pemuda itu –Heesung tidak pernah bisa mengalihkan pandangannya lagi.
Saya di sini hanya untuk meramaikan tagar survival yang lagi tayang wkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
YOUR SHOULDER| Heeseung X Sunoo [ILAND]
Fanfiction"Your shoulder is my favorite place to lean back," . . . . . !baku !bxb