Berhari-hari Heeseung tidak pulang ke rumah, ini sudah hari kelima. Selama ini dia lembur di minimarket atau pergi ke sauna, terakhir kali dia menginap di rumah Sunoo. Tidur bersama di kamarnya, di atas satu ranjang.
Heeseung bersumpah dia tidak melakukan apa-apa dan tidak pernah punya pikiran untuk itu.
Dua malam dia menginap di sana, dua malam juga dia harus menyumpal kedua telinganya dengan earphone yang dipinjamkan Sunoo. Sedangkan Sunoo terlanjur terbiasa, membuat Heeseung khawatir pada bocah kesayangannya.
"Tenang saja, aku selalu mengunci pintu kamarku dan mendengarkan musik keras-keras," begitu kata Sunoo ketika mendapati raut khawatir Heeseung.
Tapi yang menjadi sumber utama kecemasan Heeseung bukanlah itu. Sunoo menceritakan tentang pelanggan ibunya yang kini merangkap sebagai pacar ibunya yang waktu itu tersenyum pada Sunoo ketika mereka sedang bersetubuh di siang hari.
Heeseung tidak ingin berpikir negative tapi dia juga tidak ingin sesuatu terjadi pada Sunoo-nya.
Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang, akhirnya Heeseung menuruti perkataan Sunoo untuk pulang. Setidaknya, dia harus memberitahu orang tuanya bahwa dia baik-baik saja.
Dia membuka pintu dengan malas dan tanpa embel-embel, aku pulang. Heeseung tidak ingin membuang tenaganya sia-sia.
"Akkhh!"
Baru saja Heeseung ingin merapikan sepatu, terdengar jeritan ibunya dari dalam kamar. Heeseung langsung bergerak kesana dan mendapati ibunya sedang meringkuk di lantai. Ayahnya menggenggam sebuah tongkat baseball usang.
"Ayah, apa yang kau lakukan!" Heeseung mendorong ayahnya hingga jatuh lalu membawa ibunya dalam pelukan.
"Datang juga bajingan ini," ayah Heeseung bangkit masih dengan tongkat baseball di tangannya, "kau pikir bisa seenaknya minta cerai dariku, huh?! Kau pikir jalang ini bisa seenaknya meninggalkanku setelah menyedot semua hartaku seperti lintah!"
"Ayah!"
"Apa? Kau pikir kau orang baik ya? Kau pasti berpikir bahwa kau lebih baik dari ayah ibumu," ayah Heeseung mendengus, "Heeseung-ah, kau sama saja. Kau hanya akan jadi pecundang."
Heeseung menatap ayahnya tajam, dia meremat baju ibunya untuk menahan tinju yang kapan saja bisa lepas kendali, "Tidak, aku berusaha sejauh ini karena aku ingin punya nasib yang berbeda dari kalian."
"Semangat sekali anak muda! Semangatmu itu tidak sepadan dengan kemampuanmu, sampai kapan kamu mau sadar hah!"
Ayah Heeseung menghantamkan tongkat itu tepat ke kepala Heeseung tanpa sempat Heeseung mencoba menghalaunya. Dia menginjak Heesung dengan kakinya bertubi-tubi. Sedangkan Heeseung sendiri masih berusaha melindungi sang ibu, merelakan punggungnya sebagai tameng.
Telinganya berdengung.
"Tulang belikat, tempat sayap,"
Heeseung menolehkan kepalanya pada Sunoo, "Huh?"
"Walaupun sayap kakak sudah terpotong dan kakak tidak punya kaki untuk berjalan, kakak masih punya aku. Biar aku gendong kakak di punggungku, aku akan membawamu kemanapun kakak ingin pergi. Sejauh apapun."
Heesung tertawa ringan, "Terbalik, aku yang akan membawamu pergi. Pergi dari sini, ke tempat yang indah. Aku bisa janjikan itu."
"Jangan berjanji. Aku takut kak Heeseung tidak akan menepatinya,"
Lucu sekali, sekujur tubuhnya begitu sakit dan yang dia ingat hanyalah Sunoo. Hanya Sunoo yang ada dalam pikirannya. Walaupun Sunoo mengatakan untuk tidak berjanji, tapi Heeseung menjanjikan itu pada dirinya sendiri.
Dia harus pergi, bersama Sunoo.
Jauh dari sini.
.
.
Sunoo sedang belajar di kamarnya sambil menonton berita lewat ponsel. Tidak lupa terus mengunyah roti di tangannya. Sunoo memang ahlinya multitasking.
"PHK? Wah, bukan hanya puluhan tapi ratusan pekerja. Perusahaan ini pasti sedang bangkrut," Sunoo mengamati perusahaan apa yang sedang diberitakan itu.
"Tunggu dulu, ini kan tempat ayah kak Heeseung kerja,"
Dugh! Dugh! Dugh!
Tiba-tiba seseorang menggedor pintu kamarnya begitu keras. Ibunya? Tidak mungkin. Ibunya pasti masih kerja jam segini. Hanya ada satu orang lain dalam pikiran Sunoo.
Pacar ibunya.
"Aishhh... anak ini selalu saja mengunci pintu kamarnya," gagang pintu kamar Sunoo naik turun dengan gelisah. Rupanya pria itu berusaha membukanya dengan paksa.
Apa dia mabuk?
"Nak!" Sunoo menutup mulutnya dengan dua tangan. Menahan napas dan diam mematung tanpa pergerakan.
"Kalau kau belum tidur, bukakan pintunya, ahjussi mau bicara,"
Dugh!! Dugh!! Dugh!!!
Gedoran pada pintunya semakin keras, "Aku tahu kau ada di dalam, aku bisa mencium aromamu dari sini, manis."
Sunoo langsung merinding dibuatnya. Dia meraih ponselnya dengan buru-buru, menekan tombol darurat 1 –nomer Heeseung ketika dia merasa pintu kamarnya mulai didobrak.
Tidak, tidak, Sunoo takut.
Tapi dicoba berkali-kali pun Heeseung tak kunjung menjawab panggilannya. Sunoo bergerak cepat menggeser salah satu meja di dekat pintu menahannya agar tidak terbuka.
Semoga saja.
Dia berjongkok ketakutan. Air matanya sudah jatuh dari tadi. Tangannya yang gemetar masih berusaha menghubungi Heeseung, "Kak, aku takut. Tolong aku."
-tbc-
Setelah 4 bagian, saya baru sadar bahwa penulisan nama Heeseung salah. Harusnya 'Heeseung' bukan 'Heesung'. Saya jadi malu. Tapi, sudah saya benarkan di chapter ini :)
KAMU SEDANG MEMBACA
YOUR SHOULDER| Heeseung X Sunoo [ILAND]
Fanfiction"Your shoulder is my favorite place to lean back," . . . . . !baku !bxb