21 Febuari 2022
Revisi : 13 Maret 2024
***
Sejak dari tadi Zanetta menatap Rhea yang duduk gelisah selama ulangan harian fisika berlangsung. Mereka duduk berdua, tetapi Zanetta tidak dapat menegur Rhea karena ruangan kelas yang sangat sunyi ini terdapat guru yang menatap tajam kepada siswa satu persatu. Zanetta saja bahkan bergidik ngeri. Dia tidak berani berkutik jika semua menyangkut guru BK itu yang tidak tahu bagaimana bisa, menggantikan Pak Suhartono selaku guru fisika yang tidak hadir hari ini."Psstt!"
Zanetta mendelik saat salah satu anak kelasnya, laki-laki, berbisik pelan. Tidak tahu siapa yang dituju-
"Zee!" bisik laki-laki itu memanggil Zanetta.
Zanetta memejamkan matanya sejenak, berusaha menahan kesabaran karena dia tidak tahu saja, Zanetta yang sama juga merasa serangan jantung pada ulangan fisika kali ini. Bagaimana jika nantinya kertas ulangan yang Zanetta pegang tiba-tiba ditarik oleh guru itu? No, Zanetta tentu tidak ingin adanya kejadian bodoh.
"Aidan!" seru guru itu dengan garang.
Zanetta meringis pelan. Untung saja, dia tidak menoleh ke belakang saat Aidan memanggilnya.
"Silahkan kumpul ulangannya di depan meja. Yang tertib, jangan seperti anak TK yang tidak tahu aturan."
Serempak semuanya berdiri. Begitupun Zanetta dan Rhea yang mulai melangkahkan kakinya menuju ke meja guru. Setelah itu, keduanya kembali ke meja lalu merapikan alat tulis yang mereka pakai tadi.
"Gue habis ini langsung pulang," bisik Zanetta pelan kepada Rhea.
"Zee ...." Tatapan Rhea melirih menatap Zanetta yang sudah tersenyum senang. Dari tatapan matanya seakan mengatakan 'habis lo pulang ini'.
"Bantuin ambil buku," serunya lagi dengan wajah ditekuk.
"No, Rhea. Kali ini gue nggak bisa bantu lo." Zanetta memasukkan kotak pensilnya ke dalam tas. "Lo tahu gue."
"Zanetta, bantu Ibu bawakan tas dan kertas ulangan ini ke kantor. Ibu juga minta bantuan kamu untuk menyusun buku-buku."
Zanetta tersenyum senang. Dia menatap wajah Rhea yang berubah jadi masam. "Takdir selalu berpihak ke gue."
"Dan gue doain semoga lo juga sengsara kayak gue."
Zanetta tertawa, gigi putihnya bahkan sempat terlihat. "Gue ke depan dulu. Bye."
"Sialan!"
***
Malam ini langit tampak tidak mendukungnya untuk berjalan-jalan ke taman mini yang dipenuhi oleh anak-anak. Satu persatu Zanetta melihat anak-anak itu mulai berlarian menuju tempat yang lebih teduh, menghampiri orang tuanya dengan pelukan hangat mereka sebagai sambutan.
Zanetta tersenyum tipis. Anak-anak itu ... sangat bahagia. Bagaimana rasanya memiliki orang tua yang lengkap? Yang berdiri dengan senang menyambutnya di depan pintu ketika pulang sekolah? Atau memeluknya ketika sedang menghadapi masalah. They are really lucky. The little girl hugging her father, or the boy holding his parents.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Intimidator
Teen FictionSeharusnya Zanetta menikmati masa sekolah yang menyenangkan dengan keadaan damai tanpa gangguan dari pihak manapun. Namun saat hari pertama di kelas dua belasnya, seketika hidup Zanetta berlawanan arah, tak seperti dua tahun sebelumnya yang sangat...