PART LIMA

3 2 0
                                    


Kantor Nathan tampak begitu sibuk pagi ini. Orang-orang yang berlalu lalang menambah suasana hiruk pikuk. Seorang lelaki berjalan dengan terburu menuju ruangan kerjanya dengan telepon yang berada di telinganya.

"Sudahlah, aku bisa menyelesaikannya sendiri," ujar Nathan kepada seorang yang berada di balik sambungan teleponnya.

"Maafkan aku sekali lagi. Meeting pagi ini benar-benar tak bisa kutinggalkan," balas orang di seberang telepon.

"Sudah kubilang, tugas ini sepenuhnya tanggung jawabku. Kau hanya perlu memberiku semangat. Lebih baik kau fokus dengan meeting-mu itu." Nathan menghela napas pelan, cewek satu ini benar-benar susah untuk dibilangin.

"Baiklah, kuharap kau segera menyelesaikannya. See you."

"See you." Dan berakhirlah pembicaraan mereka tepat ketika Nathan sampai di ruang kerjanya. Ia segera mendudukkan tubuhnya ke kursi di depan komputer yang sudah menyala. Hari ini Nathan berencana untuk melacak nomor tidak dikenal yang mengirim pesan misterius ke gawai milik Valerie.

Nathan akan mencari tahu lokasi si pengirim pesan dengan melacak nomor ponselnya. Kemungkinan si pengirim pesan adalah orang yang sama dengan si pembunuh sangat besar. Satu jam berlalu tetapi nihil, Nathan tak mendapatkan apa-apa. Ia menghela napas kasar dan menyandarkan punggung tegapnya ke kursi. Memejamkan matanya sembari memijit pelipisnya pelan untuk melepas penat sebelum kembali bertugas. Setelah dirasa cukup, Nathan segera berdiri dan mengenakan mantelnya. Ia mengambil kunci mobilnya kasar dan segera berjalan keluar.

Hari ini ia akan pergi ke kediaman korban untuk melakukan interogasi lagi. Perjalanan yang ditempuh untuk menuju rumah korban hanya 50 menit, karena memang jaraknya tidak terlalu jauh dengan kantornya Nathan. Ia segera berjalan menuju pintu lalu menekan bel. Tak lama seorang wanita paruh baya tampak membukakan pintu untuk Nathan. "Kau ingin menginterogasiku lagi?" tanya wanita itu skeptis.

"Ya," balas Nathan singkat seraya memperlihatkan kartu indentitas detektifnya. "Bolehkan saya masuk?" pinta Nathan ketika ibu Valerie belum juga melebarkan pintu untuknya. Melihat tak ada respon dari ibu Valerie, Nathan membuka suara lagi.

"Begini, kami tidak memiliki petunjuk atau apa pun untuk menemukan pelaku dari kasus putri Anda ini. Hanya Anda orang terdekat korban yang mungkin bisa memberikan petunjuk untuk mempercepat penyelesaian kasus ini," jelas Nathan dengan raut wajah yang serius. Namun ternyata hal pernyataannya itu tidak membuat tekad wanita paruh baya itu goyah.

"Saya hanya perlu waktu untuk memikirkan semuanya," dalih ibu Valerie seraya mengalihkan tatapannya dari Nathan.

"Saya sepenuhnya paham apa yang Anda rasakan. Tapi tolong biarkan saya masuk dan menjelaskan tujuan saya dengan jelas. Waktu saya tidak banyak, jadi tolong jangan membuat ini menjadi semakin rumit." Lantas, ibu Valerie melebarkan pintunya membiarkan Nathan masuk.

Melihat air muka ibu Valerie yang menegang, Nathan dapat menyimpulkan kalau wanita itu tersinggung dengan perkataannya. "Maafkan perkataan saya tadi. Itu hanyalah cara agar pihak korban berani membuka suara," ujar Nathan yang disambut senyum kecil ibu Valerie.

"Anda salah detektif. Membiarkan Anda masuk tidak membuat saya menjadi berubah pikiran. Saya masih membutuhkan waktu untuk menenangkan diri." Nathan hanya menghela napas pelan.

"Ini sudah ketiga kalinya saya kesini, mau sampai kapan Anda akan seperti itu? Jangan sampai kasus ini hanya dianggap angin lalu karena kami kekurangan data. Saya rasa Anda sebagai Ibu-nya tidak mungkin membiarkan kasus putri Anda ini menjadi kasus tak kasat mata, bukan? Jadi, saya mohon biarkan mengajukan beberapa pertanyaan untuk Anda." Beberapa saat hening, perkataan Nathan sungguh menohok wanita paruh baya itu.

"Apa yang ingin kau tanyakan?" Setelah memikirkan segala kemungkinan yang terjadi ibu Valerie akhirnya membuka suara yang tentu saja membuat senyum manis terukir di bibir Nathan.

"Baik. Pertanyaan yang mendasar, apakah Valerie memiliki musuh?"

"Tidak. Valeria putriku yang baik, dia tidak memiliki musuh. Bahkan, teman pun tak ada. Ia seorang gadis yang pendiam dan perhatian," jawab Ibu Verie dengan pandangan kosong menerawang.

"Kalau begitu, bagaimana kondisi rumah tempat Valerie tinggal? Maafkan saya jika pertanyaan ini menyinggung Anda. Tapi, jika Valerie tidak memiliki teman dan musuh, maka pertanyaannya sekarang ada di suasana rumah Valerie tinggal," ucap Nathan tak enak hati. Ibu Valerie diam tidak menjawab pertanyaan Nathan, menatap Nathan dengan tatapan ragu yang sangat kentara.

"Tenang saja, kami akan melindungi nara sumber dan merahasiakan data yang kami dapat. Sampai semuanya sudah jelas," sergah Nathan berusaha meyakinkan ibu Valerie. Tapi tidak berhasih, wanita itu masih tetap bungkam dengan pandangan mata yang lurus ke arah jendela rumahnya.

"Baiklah, pertanyaan berikutnya, apakah Valerie memiliki teman kencan?"

Mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Nathan, ibu Valerie mengalihkan pandangan matanya. Menghela napas pelan, lalu menjawab pertanyaan Nathan dengan anggukan kepala. "Sudah bertunangan. Tapi sungguh putriku yang malang, pertunangannya hanya bertahan 5 bulan," ujarnya pelan. Nathan mengerutkan dahinya, ia merasa ada sesuatu.

"Apa yang terjadi? Maksud saya mengapa tunangan putrimu memutuskan hubungan dengan putrimu?" Ibu Valerie menghela napas lagi.

"Putriku sudah tak suci lagi dan tunangannya tidak mau dengan seorang yang sudah tidak memiliki mahkotanya." Wanita itu kengalihkan pandangannya ke jendela, menolak bertatapn dengan Nathan. "Mirisnya kehormatan putriku diambil oleh ayahnya sendiri." Tampak Ibu Valerie yang mengusap ujung matanya.

"Kau bilang ayahnya sudah meninggal," ucap Nathan keheranan.

"Ya, memang. Dan dengan bodohnya, aku menikah lagi 2 tahun setelahnya. Pernikahan yang justru merenggut kebahagiaan kami." Setelah mengucapkan kalimat itu ia menoleh ke Nathan yang hanya terpaku dengan apa yang ia dengar.

"Sepertinya aku tak bisa melanjutkan introgasi ini lagi. Aku tidak sanggup," ujar ibu Valerie seraya berdiri dari sofa yang diikuti oleh Nathan.

"Terima kasih. Saya turut berduka atas meninggalnya putri Anda." Nathan mengulurkan tangannya yang disambut oleh Ibu Valerie. "Saya berjanji akan segera menemukan pelaku dibalik tewasnya putri Anda," tambahnya.

"Ya, kuharap kau segera menemukannya." Itu menjadi kalimat terakhir yang Nathan dengar sebelum wanita itu menutup pintu rumahnya. Tanpa membuang-buang waktu lagi Nathan segera beranjak menuju ke mobilnya. Secara perlahan mobil hitam milik Nathan berjalan menjauhi rumah putih itu.

*****

Balik lagi sama Hani •.<

Jangan lupa vote dan komen yaa
Share ke temen-temen kalian juga biar rame

Btw, menurut kalian siapa pembunuhnya?

Eh, mampir yuk ke akunku di ilymeli

The GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang