[Chapter 1: Pepet]

202 35 0
                                    

--

"Jennie! Turun kamu, ih! Jangan diem di kamar terus, kamu belom makan!" teriak Ayra dari lantai bawah.

Sekarang sudah hampir jam setengah sembilan malam, dan Jennie belum makan malam sama sekali. Bundanya sudah malas membujuk Jennie turun ke bawah untuk mengisi perutnya, karena Jennie akan menjawab dengan jawaban yang sama.

"Lagi diet, Teh Ayy! Udah deh, aku gak akan makan. Besok sarapan aku pasti makan, kok!" balas Jennie beteriak dari kamarnya.

Ayra menghela napas kasar. Dengan tangan yang sibuk memindahkan piring-piring bekas makan tadi di meja makan, Ayra pun berniat sengaja mengatakan ini.

"Halaah, bilang aja lagi asik chattan sama Kak--"

"TEH AYRA JANGAN CEPUU! PUNDUNG NIH, AH!"

Ayra tertawa puas. Hahah, memang enak! Jennie memang sengaja merahasiakan hubungannya dengan Ergi. Yang telah menjadi pacarnya sejak dua tahun yang lalu. Sebenarnya, anak itu mau-mau saja bilang jujur sama Bunda dan Ayahnya. Cuma, Jennie kadang dihampiri rasa takut lagi.

Makanya gak pernah jadi jujur sama Ayah Bunda.

"Ya makanya makan, dong! Gak bosen apa alesannya lagi diet?! Badan kamu udah kurus kayak sisa tengkorak juga. Udah makan sini kamu! Turun ke bawah sekarang! Gak kasian sama Bunda dan aku udah masak banyak loh hari ini, Jennnn!" teriak Ayra lagi.

Sementara sang Bunda hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Menyimak perdebatan kecil di antara Ayra dan Jennie. Meski keduanya bukan saudara kandung, tapi Bunda bersyukur. Setidaknya mereka berdua tetap akur, dan tidak pernah membawa status keluarga jika ada urusan apa-apa.

Dan gak lama kemudian, terdengar lah suara hentakan kaki yang keras sedang berjalan melewati tangga. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Jennie. Si Jennie ini kalo lagi marah emang gini. Mukanya ditekuk, jalan sengaja dikeras-kerasin.

Ayra melirik Jennie yang sekarang tengah menarik kursi yang berhadapan dengan meja makan.

"Loh, turun beneran kamu? Takut ya dibilangin ke Bunda soal--"

"Ssst ih, Teh! Jangan ember deh, ah. Katanya gak bakal ngasitahu siapa-siapa." sahut Jennie dengan nada kesal. Gerakan tangannya yang mulai dari mengambil piring sampai menaruh makanannya ke atas piring gak ada lembut-lembutnya.

Ayra sih seneng-seneng aja kalo liat Jennie marah-marah kayak gini. Lucu soalnya, dari awal dia masuk SMP tuh, Ayra suka banget bikin Jennie kesel tingkat dewa.

Dan akhirnya, Bunda angkat suara. Untung Ayah udah tidur duluan di kamar. Jadi, gak bakal nambah ceramah malam ini.

"Ngasitahu soal apa sih, hah? Mainnya rahasia-rahasian nih sama Bunda. Biasanya juga suka cerita, kok sekarang malah ditutupin." tanya Bunda sambil berjalan menuju meja makan.

Belum juga Ayra menjawab, Jennie sudah menyelanya duluan.

"Teh, dieem ya!" Jennie memelototi.

Ayra mengulum bibirnya sambil mengangguk dan menahan senyum. Nurut aja deh sama si Bungsu.

Bunda menatap heran Jennie dan Ayra. Ini dua anak gadisnya kenapa sih.

"Rahasiain soal apa sih, hmm? Bunda tuh cewek juga loh, bukan laki-laki."

"Ya Bunda tuh emang ceweeek, Buun. Haduh, kalo gitu mana bisa lahirin Teh Ayra." balas Jennie dengan raut wajah memelas greget gitu loh.

Ayra mengangguk menyetujui. "Bener tuh, Bun. Masa nanti Ayah yang lahirin Ayra? 'Kan gak lucu,"

Heran. Padahal Jennie sama Ayra itu bukan saudara kandung. Tapi gak tahu kenapa, pemikiran mereka hampir selalu sama. Kelakuannya juga.

Bunda terkekeh. "Gimana ceritanya si Ayah bisa ngelahirin kamu? Mana bisa!"

Sundream [ Vrene Lokal ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang