Selembut Ikhlas || 03

2.3K 211 50
                                    

°°°

"Yang sudah lama bersama, belum tentu berakhir dalam ikatan yang sama."

°°Selembut Ikhlas°°

°°°

"Ini kenapa pada gosip? Bapak Bos nggak marah?" tanyaku berbisik pada Fillah.

"Ini lagi ngomongin nikahan selebriti yang viral itu. Pak Bos malah ikutan merumpi. Itu lihat paling pojok."

Aku mengedarkan pandangan dan...dapat. Bapak Bos sedang ikut merumpi dong. Lagian tumben sekali para karyawan dan Bapak Bos kumpul di pantri begini.

"Definisi nikung di sepertiga malam, ya begitu. Sekuat apapun manusia berencana, tetap aja Allah yang punya cerita. Perihal jodoh nggak ada yang tahu. Yang sudah lama bersama, belum tentu berakhir dalam ikatan yang sama."

Itu Bapak Bos kenapa ngomong begitu? Mohon maaf, kok aku rada tersinggung, ya?

"Makanya, gak usahlah gembar-gembor pacaran sana-sini kalau ujung-ujungnya cuma jagain jodoh orang. Sakitnya, sih, cuma sekali, tapi lamanya udah kayak mau mati," katanya lagi.

Wohoooo, ini beneran Pak Bagus? Sulit di percaya.

"Bapak pengalaman, ya?" Ehh... Ini aku kenapa menceletuk begitu, sih?

"Nggaklah. Ya kali, emangnya kamu." Ye, definisi bos gak ada akhlak.

"Emang Bapak nggak pacaran? Secara, kan, Bapak ini Bos besar di sini," kataku lagi.

"Nggaklah. Saya gak seperti kamu, pacaran lama udah kayak kredit mobil aja. Eh, tapi masih mending kredit mobil, sih. Wujudnya ada, sebuah mobil. Lah kalau pacaran? Wujud dosa yang ada."

Ckckck. "Astaghfirullah, Bapak. Itu mulutnya kenapa licin banget? Tajem lagi."

"Suka-suka saya dong," katanya sambil berjalan menuju ruangannya.

Ish. Emang, ya, yang berduit itu beda. Ngomongnya enteng banget.

"Rasain kamu, Fi."

"Emang enak. Senjata makan nyonya, ya, begitu."

Aku mendengus. "Udah, dong. Masa aku diejek terus."

"Ya makanya kamu jangan macem-macem sama Pak Bos. Udah tahu mulutnya tajem macam ujung pisau," kata Fadil.

"Iya-iya." Balik kanan bubar jalan emang sudah paling benar.

- s e l e m b u t i k h l a s -

"Fillah, apa usia kita ini udah benar-benar pantas untuk menikah?" tanyaku pada Fillah. Kebetulan kami berdua sedang berada di pelataran musala karena baru saja selesai salat Zuhur.

"Menurutku, ya, dari segi usia mungkin kita udah pantas. Secara usia dua puluh tiga tahun, itu udah sangat-sangat pantas untuk menikah. Namun, kembali lagi, usia yang pantas tidak menjamin bahwa kita udah mampu melakukan apapun pada dunia rumah tangga. Kita masih perlu belajar, belajar, dan belajar. Lagi, kalau dilihat dari segi materi, bisa aja kita belum mampu."

Aku mengangguk mengerti. "Terus kalau seandainya kamu ada yang melamar, apa kamu bakal terima?"

"Tergantung. Pernikahan itu bukan suatu hal yang main-main, yang kalau nggak asik, ditinggalin begitu aja. Bukan. Pernikahan itu ibadah terlama dan juga salah satu sunnah Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam. Munafik rasanya kalau aku bilang bahwa aku nggak mau menikah. Tapi mungkin, untuk saat ini aku belum fokus pada hal itu."

"Terus, apa tanggapan kamu menenai hubungan aku sama Gemi?"

"Kamu sama Gemi, ya?" Aku mengangguk. "Jujur, aku kurang suka dengan hubungan yang kalian jalani ini. Apalagi kamu perempuan paham agama, Insya Allah, tapi kenapa malah pilih jalan pacaran? Kalau alasan kamu karena ingin saling mengenal, di Islam udah jelas ada yang namanya taaruf. Kamu bisa saling mengenal melalui perantara agar meminimalisir adanya hal-hal yang tidak diinginkan. Terus kalau alasan kamu adalah takut kehilangan, aku rasa kamu nggak lupa perihal 'jodoh nggak akan ke mana'.

"Lagi pula, apa yang udah ditakdirkan untukmu, tetap akan menjadi milik kamu. Begitu pula sebaliknya. Sesuatu yang bukan ditakdirkan untukmu, sekuat apapun kamu menggenggam, itu tidak akan pernah menjadi milik kamu."

Aku terdiam memikirkan ucapan Fillah. Allah, kenapa masalahku dan Gemi serumit ini, sih? Kenapa juga dulu aku mau diajak pacaran sama Gemi?

"Terus aku harus bagaimana, La?" tanyaku lirih.

Jujur aku sudah lelah. Menekan Gemi terus-terusan juga bukan hal yang baik. Belum lagi media sedang dihebohkan dengan pernikahan selebriti yang penuh kejutan. Bagaimana tidak, dekatnya dengan siapa, menikahnya dengan siapa. Aku takut terjadi hal seperti itu pada hubunganku dan Gemi.

"Aku nggak bisa mengarahkan hubungan antara kamu dan Gemi bagaimana ke depannya. Semua keputusan ada pada kamu dan Gemi, tapi aku selalu berharap bahwa hubungan kamu dan Gemi bisa sampai pada ranah yang lebih serius lagi, yaitu pernikahan. Tidak ada yang membahagiakan selain berhasilnya sebuah hubungan, kan? Untuk itu, kamu harus berusaha dan tegas pada hubunganmu. Pikirkan baik-baik akan dibawa ke mana hubungan kalian ini. Nggak mungkin, kan, kalian akan pacaran terus-terusan.

"Dan kalau semisal Gemi tidak kunjung siap untuk datang melamar, kamu harus tegas padanya. Beri tenggang waktu agar kamu juga tidak terlalu larut dalam ketidakpastian."

"Kalau akhirnya aku sama Gemi pisah, misalnya. Itu gimana?"

Aku melihat Fillah tersenyum dan mengusap punggungku. "Ikhlas. Tidak ada cara lain selain ikhlas, kan? Yakinkan diri bahwa kamu dan dia memang tidak berjodoh. Mungkin, kamu dan dia hanya sebatas saling menjaga, hingga pemilik aslinya tiba menyapa."

Aku terdiam memikirkan semua ucapan Fillah. Terlalu sakit rasanya kalau perpisahan antara aku dan Gemi adalah hasil akhir dari penantian kita selama ini.

Mungkin aku harus mulai membicarakan ini lagi dengan Gemi. Memang, sejak kejadian waktu itu, aku dan Gemi sudah jarang berkomunikasi. Entah karena sama-sama sibuk, atau mungkin karena sudah kehabisan bahan komunikasi.

"Semangat, Fi. Gembok diciptakan selalu dengan kuncinya. Begitu juga ujian. Allah memberikan ujian selalu dengan penyelesaiannya. Usaha terus dan selalu libatkan Allah dalam segala sesuatunya," kata Fillah sambil mengusap bahuku.

Aku mengangguk dan mengukir senyum. Tidak ada yang lebih menyenangkan ketika mempunyai sahabat yang bisa mengerti kita.

- s e l e m b u t i k h l a s -

Kenapa selalu seperti ini, sih? Baru saja aku akan menghubungi Gemi untuk membicarakan masalah kita, kerjaan selalu saja ada yang bermasalah.

"Allah gak rela kalau kamu berduaan sama Gemi, Fi," kata Fillah yang sekarang sudah bersiap untuk pulang.

Aku mendengus. "Bantuin aku dulu, lah, La. Masa tega sama sahabat sendiri? Ini kantor udah mulai sepi, lho, horror ih."

"Big no! Aku lagi mau pulang cepat. Laper, pengin makan mie instan."

"Di sini aja. Aku bikinin," bujukku.

"Tetap gak mau. Udah, ah, aku mau pulang. Semangat, Cinta. Masih ada Pak Bos sama Office Boy, kok."

Aku merengut. Justru yang bikin horror itu Pak Bos.

Ini kenapa coba datanya bisa nggak valid? Minta perhatian banget, sih.

Iya maaf pendek banget. Gak sampe 1k words. Wkwk.

Gimana sama part ini?

Spam next/lanjut dong🤗

See you🙋

Selembut Ikhlas ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang