°°°
"Kunci berhasilnya sebuah hubungan itu saling terbuka, kan?"
°°Selembut Ikhlas°°
°°°
Dari awal perjalanan menuju bandara, pikiranku masih tertinggal pada percakapan yang dimaksud oleh Mama Fira. Percakapan yang menurutku sarat akan banyaknya rahasia itu, berhasil membuatku tidak bisa tidur semalaman dan berujung mengerjakan tugas kantor yang sempat aku tinggalkan.
Perjalanan yang seharusnya menghabiskan waktu satu jam, kini harus menempuh waktu dua jam karena macetnya ibu kota yang tak kunjung mereda. Mustahil juga rasanya jika ibu kota terbebas dari macet.
Aku berusaha menghubungi Gemi untuk memberitahukan bahwa aku sedang terjebak macet. Walau dia belum landed, tetapi antisipasi itu harus. Setidaknya aku dapat meninggalkan pesan yang dapat Gemi baca ketika sudah landed nanti. Aku tidak mau dia kebingungan ketika tak mendapati aku di sana.
Akhirnya, setelah bergerilya dengan macet dan panasnya jalanan ini, aku bisa sampai di tempat yang dituju. Dan sekitar lima belas menit berlalu, akhirnya Gemi sudah berjalan ke arahku dengan menenteng ransel.
"Dari tadi, ya?" tanyanya saat sudah berada di hadapanku.
"Dari sekitar dua puluh menit lalu." Gemi mengangguk paham. "Mau langsung pulang atau makan dulu?"
"Pulang aja, cape banget."
Aku pun hanya mengikuti saja. "Lagian, kamu di Kalimantan lama banget. Lebih dari sebulan, lho, ini."
"Ya mau gimana lagi. Perusahaan di sana over load. Jadi, mau gak mau aku sama tim harus bisa selesaikan sampai tuntas. Daripada dikirim bolak-balik, mending sekalian aja."
"Terus tim kamu pulang semua juga hari ini?" tanyaku karena aku tidak melihat timnya keluar bandara bersama dengan Gemi.
"Pulang, cuma mereka masih ada di dalam, nunggu keluarga yang jemput. Katanya, sih, kejebak macet."
"Iya, sih. Jakarta makin parah macetnya. Aku aja butuh dua jam lebih buat sampai ke sini."
"Ya udah, sekarang gantian aku yang nyetir."
Aku menggeleng tegas. "Nggak. Aku tahu kamu pasti masih jet lag. Jadi biar aku aja yang nyetir."
"Nope, honey. Nggak begitu terasa, kok. Lagian di awal perjalanan aku tidur terus. Jadi, sekarang bisa melek."
"Tapi serius gak papa?" tanyaku memastikan.
"Iya." Akhirnya aku menyerahkan kunci mobil kepada Gemi walau dengan ragu-ragu. Bukannya apa, tetapi aku was-was. Parno sekali aku.
Sepanjang perjalanan aku hanya diam, sesekali mengobrol dengan Gemi jika dia membuka obrolan. Jujur saja, aku ingin menanyakan perihal obrolan yang dimaksud oleh Mama Fira kemarin, tetapi saat melihat kondisi Gemi yang pasti lelah, aku jadi berpikir ulang.
"Kamu kenapa dari tadi diam terus, Fi?" tanya Gemi yang mungkin sadar akan kelakuanku.
Aku menggeleng. "Nggak ada, kok."
"Serius? Dari tadi, lho, kamu gak banyak omong. Biasanya kamu suka cerita tanpa aku pinta. Apalagi kita nggak ketemu sebulan lebih. Yakin gak ada yang mau kamu omongin sama aku?"
Aku menghela napas. Kalau sudah begini, aku bisa apa? Gemi emang paling bisa memancing lawan bicaranya untuk terus berbicara. "Sebenarnya ada yang kepingin aku tanyain, sih, sama kamu."

KAMU SEDANG MEMBACA
Selembut Ikhlas ✔
RomansPROSES TERBIT! "Merelakan atau mempertahankan, keduanya sama-sama butuh perjuangan." -Rafisya Naysyilla