Selembut Ikhlas || 02

2.9K 227 87
                                    

°°°

"Kalau kamu merasa hidupmu kayak nggak teratur, berantakan, nggak seperti prediksimu, jangan ngeluh. Mending kamu lihat hubunganmu sama Allah, jangan terlalu cuek."

°°Selembut Ikhlas°°

°°°

Senin adalah hari dengan tingkat kemalasan yang tinggi menurutku. Setelah dua hari libur, kini aku harus mulai beraktivitas kembali. Huh, rasanya aku ingin bergelung saja dengan selimut sambil memeluk guling.

"Fi, kenapa? Suntuk banget." Itu suara Fillah, sahabatku sedari masa SMA yang kebetulan satu kantor denganku.

"Iya, males banget kerja. Maunya rebahan terus," keluhku.

Fillah hanya tersenyum. Jenis senyuman yang membuat hati adem. Serius, Fillah itu jenis akhwat yang Masya Allah sekali. Idaman sekali, deh.

"Gak boleh begitu, Fi. Kita harus bersyukur. Banyak di luaran sana yang belum punya pekerjaan, nah kita ini yang udah punya pekerjaan masa mau males-malesan? Nggak adil banget rasanya yang malas dipekerjakan, sedangkan yang rajin dibiarkan."

Tuh, kan. Fillah ini selain punya senyum yang adem, ucapannya juga tidak kalah adem. Aku bersyukur bisa bersahabat dengan Fillah. Dia itu ibarat alarm. Jikalau aku sedang kufur, dia datang untuk mengingatkan aku betapa indahnya bersyukur.

"Iya, Fillah. Aku nggak maksud kufur, lho. Cuma gak tahu kenapa, hari Senin sekarang itu aku kayak down, padahal aku fine-fine aja."

Aku melihat Fillah mengangguk hingga membuat khimarnya mengikuti. "Efek maksiat kali," celetuknya.

Duh, punya sahabat macam Fillah itu terkadang menyejukkan hati, terkadang juga bikin makan hati. Mau mengelak, tetapi ucapannya benar. Allah, segini baru di dunia, apalagi nanti di akhirat?

"Kamu masih pacaran sama Gemi, kan?" Aku mengangguk. Toh, buat apa mengelak? Dia sudah tahu dari zaman kuliah kalau aku pacaran dengan Gemi.

"Fi, kalau kamu merasa hidupmu kayak nggak teratur, berantakan, nggak seperti prediksimu, jangan ngeluh. Mending kamu lihat hubunganmu sama Allah, jangan terlalu cuek. Giliran hubungan renggang sama Gemi, kamu berusaha mati-matian buat memperbaiki, tapi giliran sama Allah? Jangankan memperbaiki, yang ada kamu malah ngeluh terus."

Senin pagi, mood berantakan, dengar ceramah. Nikmat yang hakiki sekali. "Bobrok banget, ya, aku ini. Sering lupa sama Maha Pencipta, beruntung Dia masih kasih aku kesempatan lewat orang-orang yang kayak kamu. Alarm banget, lah."

"Makanya, putus aja, deh, sama Gemi. Kalau jodoh nggak bakal ke mana. Nggak cape apa nabung dosa terus? Lagian, kalau emang kalian berdua serius, cepat ke pelaminan aja."

Aku menghela napas. Memang, ya, hidup dikelilingi oleh orang yang agama dan akhlaknya luar biasa itu diceramahin terus, tetapi aku juga merasa beruntung.

"Maunya begitu, tapi udah berkali-kali ngomong sama Gemi dan alasan dia tetap sama. Masih belum siap. Aku harus apa coba?"

"Orang yang kayak begitu masih aja kamu pertahanin, Fi. Kalau aku, sih, mending tinggalin aja."

"Kita itu beda, lho, Fillah. Kamu mungkin bisa berpikiran seperti itu, tapi aku nggak bisa. Buat saat ini, aku mentok di Gemi."

Aku melihat Fillah menghela napas. Lelah juga membicarakan yang seperti ini. Butuh tenaga ekstra. Lagi pula, aku bingung. Mereka mudah sekali bilang 'udah, putusin aja'. Hey, di sini aku yang menjalani.

Selembut Ikhlas ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang