Selembut Ikhlas || 06

2K 190 38
                                    

°°°

"Sayang dan cinta seharusnya dilindungi dengan landasan suci, kan? Menikah misalnya."

°°Selembut Ikhlas°°

°°°

"Hubungan kamu sama Gemi gimana sekarang?" tanya Bang Rafa.

Aku belum berani menjawab. Bingung juga. Dibilang baik, sepertinya tidak. Dibilang tidak juga sepertinya baik. Serba salah sudah seperti lagunya Raisa. Ditambah lagi sekarang posisi Gemi masih di luar kota. Jadi, sulit untuk membicarakan bagaimana kelanjutannya.

"Baik," jawabku ragu-ragu. Beruntung, Bang Rafa menerima jawaban itu. Mungkin karena sedang di kafe dan pengunjung juga ramai, Bang Rafa bisa mengendalikan emosinya.

"Jadi, rencana kamu nikah di usia sekarang ini gagal dong?"

Aku mengangguk pasrah. Mau bagaimana lagi, kan? Dipaksa juga rasanya percuma kalau hanya aku yang ingin. Dikata nikah bisa sendiri apa.

Lagi pula, mungkin memang benar kata Gemi. Menikah itu bukan sesuatu hal yang mudah. Menikah itu juga salah satu ibadah yang paling lama. Jelas aku tidak ingin gagal dalam menikah. Aku hanya ingin menikah sekali seumur hidupku.

"Udah ikhlas menerima bahwa Gemi memang belum ingin menikah?"

Aku mengangguk lagi. Memangnya selain menerima, aku bisa apalagi?

"Tapi Abang bingung, kenapa si Gemi masih nggak mau menikah? Padahal umurnya udah masuk dua puluh lima, kan? Usia ideal seorang laki-laki untuk menikah."

Ya, memang benar, usia Gemi sudah memasuki dua puluh lima tahun. Namun, umur segitu dan belum menikah di Jakarta ini siapa yang peduli, sih? Apalagi dia laki-laki, jelas jangka waktunya dalam menikah sangat panjang. Berbeda dengan perempuan, yang menikah di umur dua puluh empat saja sudah dibilang terlambat menikah.

"Biasalah, urusan 'kenyataan' yang tak kunjung terungkapkan," kataku cuek sembari memainkan ponsel.

"Kenyataan apa, deh? Dari kemarin-kemarin perasaan bahasnya kenyataan mulu. Kenyataan bahwa kalian beda dalam visi-misi menikah? Kenyataan bahwa si Gemi gak punya uang? Kenyataan bahwa kalian beda agama? Atau kenyataan apa, sih?"

Nah, aku juga bingung kenyataan apa. Visi-misi? Bisa jadi kayaknya. Gak punya uang? Omong kosong! Wong Gemi berasal dari keluarga mampu, kok. Belum lagi sekarang ini dia bekerja di sebuah perusahaan yang besar, upah satu bulannya saja bisa menyentuh angka sepuluh juta ke atas. Namun, kalau beda agama, sepertinya tidak mungkin. Dia saja sering mengingatkan aku untuk salat, puasa, dan mengaji. Walau terkadang saat aku mengajak salat jika kebetulan sedang pergi bersamanya selalu menolak dengan alasan salat di rumah saja, tetapi aku meyakini bahwa keyakinan kita sama.

"Opsi pertama, deh, kayaknya, Bang. Lagi pula, beda agama juga gak mungkinlah. Abang lihat sendiri gimana tingkah dia."

"Terus kenapa kamu maunya cepat-cepat, sedangkan visi dan misi kalian aja masih berbeda? Lagi pula, menikah dengan orang yang mempunyai visi-misi berbeda itu katanya sulit, lho. Banyak bertengkarnya."

"Kan aku cuma nggak mau nabung dosa terus-terusan sebab pacaran, Bang."

"Ya udah, kalau begitu kenapa kalian gak putus aja? Toh kalau jodoh pasti akan bersatu kembali, kok, bagaimanapun keadaannya."

"Karena aku dan Gemi saling sayang. Cinta lebih tepatnya. Jadi, kita takut untuk kehilangan satu sama lain."

"Lho, sayang dan cinta seharusnya dilindungi dengan landasan suci, kan? Menikah misalnya, tapi kalau emang gak mampu, mending gak usah main cinta-cintaan kalau begitu."

Selembut Ikhlas ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang