Aku bingung harus memulai pembicaraan dari mana dengan Gemi. Kurang lebih sudah sepuluh menit kita berdua hanya berdiam diri tanpa berniat membuka suara. Ya, Gemi datang ke rumah.
"Maaf," katanya.
Aku mengernyit bingung. Sepuluh menit berdiam diri, lalu dia mengucapkan kata maaf? "Maaf untuk?"
"Untuk semua kesalahan aku. Aku tahu kamu sakit hati banget sama ucapan aku tempo hari, tapi jujur, aku emang masih belum siap."
Aku terdiam. Masalah itu rupanya. Kebetulan sekali. "Iya, aku sakit hati. Lagi pula, perempuan mana, sih, yang enggak sakit hati kalau ternyata pacarnya enggak ada niat buat nikahin dia?"
"Iya, aku tahu, tapi bukan maksud aku enggak mau nikah. Aku mau, tapi bukan saat ini."
Aku menghela napas. Terlalu lelah mendengar alasan yang sama setiap kali kami membicarakan perkara ini. "Jujur sama aku, Ge. Apa, sih, yang membuat kamu belum siap untuk menikah? Masalah uang?"
"Bukan. Aku percaya kalau setiap manusia punya rezekinya masing-masing," katanya.
"Lantas, apa yang membuat kamu ragu?"
"Aku bukan ragu, tapi aku cuma merasa bahwa kita ini masih terlalu dini jika harus melangkah ke jenjang yang lebih serius. Ego kita masih sama-sama tinggi."
Terlalu dini? Hey, bahkan di luaran sana banyak sekali yang menikah dengan usia jauh di bawah aku dan Gemi. Dia ini kenapa, sih?
"Ge, dua puluh tiga tahun bagi seorang wanita yang belum menikah, itu udah termasuk aib. Beruntung aku hidup di kota yang di mana masyarakatnya udah terbuka secara pemikiran, bahwa usia bukan tolok ukur seseorang untuk menikah. Kamu sadar gak, sih?"
"Iya aku tahu dan aku sadar, tapi mau bagaimana lagi? Aku belum siap. Kamu ingin menikah satu kali seumur hidup, begitu juga dengan aku. Maka dari itu, aku nggak mau terburu-buru dalam mengambil keputusan. Banyak di luaran sana yang gagal dalam rumah tangganya hanya karena kurangnya bekal. Aku nggak mau seperti itu."
"Kamu nggak bisa pukul sama rata itu semua. Kamu juga harus bisa melihat banyak orang yang berhasil dalam menjalani kehidupan rumah tangganya. Lagi pula, kita bisa belajar melalui kelas pra-nikah atau kelas parenting yang membahas seputar rumah tangga. Kita juga bisa menjalaninya dengan bersama-sama, bareng-bareng. Kita bisa saling membimbing satu sama lain. Apalagi yang kamu ragukan?"
Allah, kenapa Gemi memiliki watak seperti batu, sih? Aku tahu maksud dia baik. Dia enggan gagal dalam menjalani kehidupan rumah tangga, pun dengan aku, tetapi apa iya kita harus stuck di pacaran terus-menerus?
"Aku cape, Ge, gini terus. Berantem hanya karena masalah yang aku sendiri nggak tahu gimana cara menyelesaikannya. Ketika aku ingin hubungan kita maju, kamu malah memaksa berhenti untuk diam di tempat," kataku pelan. Berharap Gemi sadar akan kekhawatiran yang aku rasakan ini.
"Untuk saat ini aku belum bisa, Fi."
Lagi. Jawaban itu yang terlontar dari mulut Gemi. "Sampai kapan, Ge?"
Gemi terdiam seraya menatap pemandangan malam. Aku tidak terlalu tertarik pada sinar rembulan saat ini. Aku enggan menikmati keindahannya kala hatiku sedang tidak baik-baik saja.
"Aku gak bisa jawab."
Aku terkekeh kecil. "Ge, kamu itu kayak awan, ya. Sekuat apa pun aku menggenggam, hasilnya tetap sama. Selalu lepas bagai angin lalu. Aku cuma mau kamu jujur, Ge, mengenai alasan kenapa kamu enggan melangkah. Aku yakin, alasan itu bukanlah alasan yang sebenarnya."
Aku lihat Gemi mengembuskan napas berat. Seakan dia punya beban yang dia pikul. Namun, apa peduliku? Rasanya aku sudah malas mencampuri urusannya.
"Belum saatnya kamu tahu."
"Belum saatnya? Lalu kapan aku harus tahu?"
"Bukan saat ini, Fi," lirihnya.
"Apa bedanya saat ini sama nanti, Gemilang?!" tanyaku terlanjur kesal.
"Aku hanya belum siap. Nanti, kalau memang kita berjodoh, kita pasti akan bersama. Mungkin saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk kita memulai semuanya, Fi."
"Asal kamu tahu, Ge. Waktu tidak akan pernah ada yang tepat seperti yang kamu katakan. Waktu akan terus berjalan tidak peduli menurutmu itu tepat atau tidak."
"Ya, i know. Aku pulang dulu. Udah malam, nanti kita lanjut lagi. Besok aku antar ke kantor," katanya seraya merapikan jaket yang dia bawa.
"Nggak perlu. Aku ke kantor diantar Bang Rafa."
"Oke, aku pulang. Salam buat Amih dan Apih. Good night," katanya seraya melangkah pergi.
Air mata yang aku tahan, akhirnya tumpah seiring melajunya mobil Gemi.
Aku masuk ke dalam rumah yang langsung disambut pelukan hangat oleh Amih. Tak lupa Apih dan Bang Rafa yang turut memperhatikan. Aku bisa menebak bahwa mereka semua mendengarkan pembicaraan aku dan Gemi.
"Amih ... Gemi, Mih," racauku dalam pelukan Amih.
Amih memelukku seraya mengusap puncak kepalaku yang terbalut hijab instan.
"Aku cape. Gemi selalu seperti itu setiap kali kita membicarakan pernikahan. Aku ... hiks ... cape." Air mataku terus meruah mendesak keluar. Terlalu sesak jika harus di pendam.
Amih membawaku ke kamar, sedangkan Apih dan Bang Rafa tetap tinggal. Amih memelukku seraya terus mengusap punggungku.
Beliau tidak mengatakan sepatah kata pun, seolah paham bahwa yang aku butuhkan adalah sebuah pelukan.
- s e l e m b u t i k h l a s -
Setelah menutupi wajah sembabku dengan make up tipis, aku turun untuk sarapan. Semalam tadi aku tidur di pelukan Amih. Tidur dengan keadaan yang mengenaskan.
"Mau sekalian bawa bekal, Dek?" tanya Amih saat aku sampai di meja makan.
"Boleh?" Amih mengangguk. "Yaudah, aku bawa nugget aja, Mih."
"Oke. Abang sama Apih mau bawa bekal juga?" tanya Amih pada kedua lelaki tersayangku, yang dibalas anggukan oleh keduanya.
Amih bergerak memasuki makanan ke kotak bekal. Aku duduk memakan sarapanku seraya memperhatikan keluargaku.
Apih yang santai memakan sarapannya, Abang yang sedang menuangkan teh dan Amih yang memasukkan makanan ke kotak bekal.
Aku bersyukur berada di tengah-tengah keluarga yang hangat juga harmonis ini. Aku juga bersyukur kala Bang Rafa mau berbagi semuanya denganku.
Sejak dalam kandungan, dia selalu berbagi denganku. Tidak banyak yang tahu kalau aku dan Bang Rafa adalah saudara kembar. Rafasya Arrasyid dan Rafisya Naysyilla.
Aku dan dia kembar, tetapi dengan bulan dan tahun yang berbeda. Bang Rafa lahir pada 31 Desember 1996 sedangkan aku 01 Januari 1997. Kenapa bisa begitu? Karena Amih melahirkan Abang saat jam 23:55 sedangkan aku pada saat jam 00:05. Jika dihitung menit, kami berbeda sepuluh menit. Namun, saat melihat kalender, kami berbeda satu tahun.
Terkadang aku tertawa sendiri memikirkan tanggal lahir kami. Di mana banyak anak kembar pada umumnya lahir pada tanggal yang sama, sedangkan aku dan Bang Rafa berbeda.
☄
Gimana sama part ini? Puas? Jadi, Rafa sama Rafi kembar yes! Kaget? Gak usah kaget.
Spam komen next/lanjut dong😉 Biar gak sider gitu. Wkwk
See you🙋

KAMU SEDANG MEMBACA
Selembut Ikhlas ✔
RomantikPROSES TERBIT! "Merelakan atau mempertahankan, keduanya sama-sama butuh perjuangan." -Rafisya Naysyilla