Selembut Ikhlas || 01

7.3K 308 133
                                    

°°°

"Sendiri dalam ketaatan itu lebih baik daripada berdua dalam kemaksiatan."

°°Selembut Ikhlas°°

°°°

"Tumben kamu udah rapi, Dek. Ini libur, kan? Kantor juga libur, kan?" tanya Bang Rafasya, kakakku.

Aku meliriknya sebentar. Memang, hari ini adalah hari libur. Kegiatan kantor juga libur, dan akan dilanjut pada hari Senin nanti.

"Aku mau jalan sama Gemi," kataku.

For your information, Gemilang Nugraha adalah pacarku. Pacar sejak aku masih kuliah, yang artinya aku dan dia sudah empat tahun berpacaran.

"Rafisya Naysyilla, Abang udah ingetin kamu kalau pacaran itu nggak baik. Kamu perempuan paham agama, lho."

Memang benar, pacaran dalam agamaku itu diharamkan, karena termasuk mendekati zina. Seperti dalam Al-Quran surah Al-Isra' ayat 32.

Allah SWT berfirman:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰۤى اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً   ۗ  وَسَآءَ سَبِيْلًا

"Dan janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra' 17: Ayat 32)

Sudah jelas, mendekatinya saja dilarang, apalagi melakukannya. Karena pacaran itu mampu membuka pintu-pintu kemaksiatan. Sekalipun pacaran itu ada positifnya, pasti positifnya itu tidak jauh dari positif hamil.

Aku juga sebenarnya tidak mau masuk ke dalam golongan ini, tapi apa boleh buat? Cinta bisa membutakan segalanya. Setan memang paling bisa membujuk dan merayu manusia.

"Bang, aku nggak bisa ninggalin gitu aja. Aku sama Gemi udah jalan empat tahun, bukan waktu yang singkat untuk aku membangun sebuah komitmen."

"Terus, komitmen yang kamu maksud itu sekarang membuahkan hasil apa? Ingat, Dek, sendiri dalam ketaatan itu lebih baik daripada berdua dalam kemaksiatan."

Sudah, jika sudah demikian aku tidak bisa mengelak lagi. Bang Rafa memang paling bisa membuat lawan bicaranya kehabisan kata.

"Kamu udah masuk usia menikah, Dek. Coba kamu omongin sama Gemi. Kalau dia serius sama kamu, dia pasti akan mendatangi Apih sama Amih buat minta izin menikahi putrinya. Abang juga yakin kalau Apih sama Amih pasti setuju kalau emang tujuan Gemi baik, tapi kalau gini terus, Apih sama Amih juga semakin ragu sama Gemi."

Aku terdiam memikirkan ucapan Bang Rafa. Aku tidak sekali-dua kali menyinggung Gemi untuk masalah ini. Bahkan sering kali, tapi memang si Gemi-nya yang dodol, ada saja alasannya. Aku jadi pengin hujat, lelah juga begini terus.

Astaghfirullah, Ya Allah. Ampuni aku, Ya Allah.

Suara klakson motor Gemi sudah terdengar. Aku memilih jalur aman saja daripada terus terjebak dengan jofisa yang hobinya memaksa nikah terus.

"Gemi udah datang, aku pergi dulu, Bang."

Kulihat Bang Rafa menghela napas. "Ya udah, hati-hati kamu. Bilangin sama Gemi, jangan bisanya ngajak anak orang nabung dosa doang, tapi nabung pahala juga."

Aku mengangguk saja, lalu setelahnya pamit. Bisa panjang kalau urusannya dengan Bang Rafa. Nanti aku bisa menggerundel. Sudah tahu dosaku banyak, ditambah hujat, ya makin banyak, lah!

Astaghfirullah, Ya Allah.

- s e l e m b u t i k h l a s -

"Mi." Aku memanggil Gemi.

Gemi hanya melirik sekilas dari kaca spion motor. "Fi, jangan panggil aku Mi, dong. Aku merasa kayak jadi mami-mami kalau kamu panggil Mi doang," gerutu Gemi.

Aku hanya tertawa. Benar juga, sih. "Ih, aku itu suka tahu panggil kamu Mi."

"Gege aja, Fisya. Aku nggak suka dipanggil Mi atau Lang."

"Tapi Mi atau Lang juga bagus, lho." Aku terus mengutarakan pendapatku.

Gemi mendengus. "Tapi aku nggak suka, Fisya. Mi udah kayak Mami, terus Lang kayak Belalang. Pokoknya kamu panggil aku Gege aja, ya. Aku nggak mau tahu."

Aku tertawa. "Kamu udah tua, lho, Ge. Masih aja ngambek kalau ada yang manggil Mi atau Lang."

"Susah, Fi. Lagian kalau nggak suka, ya jangan dipaksa. Nanti nggak baik ujungnya."

Aku mengangguk setuju. Aku selalu setuju dengan pola pikir makhluk yang mengandalkan logika di depanku ini.

"Oh iya, Ge, Bang Rafa nanyain terus kapan kamu mau ke rumah? Sebenarnya, sih, bukan cuma Bang Fa, tapi aku juga. Kamu tahu, kan, kalau kita udah bareng empat tahun dan menurutku itu udah cukup kalau untuk mengenal lebih dekat satu sama lain." Akhirnya aku mengutarakan juga untuk ke sekian kalinya.

Aku melihat respon dia dari kaca spion. Hanya tersenyum, dan itu jenis senyuman yang membuatku kecewa dalam lautan harapan.

"Fi, bukannya aku nggak mau, cuma aku belum siap secara fisik dan batin. Lagian, aku juga belum punya penghasilan yang tetap. Memangnya kamu mau makan cinta doang nanti? Nggak, kan? Makanya, sabar dulu, ya, Fi. Nanti, kalau udah waktunya pasti aku bakal dateng. Cuma, apa pun yang terjadi nanti, aku harap kamu mampu berlapang dada."

Aku mengernyit bingung. Tidak mengerti dengan ucapan Gemi. "Maksudnya, Ge?"

Gemi menggeleng. "Nggak ada, kok. Sekarang kita makan dulu, ya. Itu di depan ada yang jual bubur."

Aku hanya mengikuti saja. Ah, kenapa ucapan Gemi selalu berhasil menjadi topik utama di pikiranku, sih?

- s e l e m b u t i k h l a s -

"Bang." Aku memanggil Bang Rafa ketika melihat dia yang sedang duduk di ruang televisi.

Bang Rafa hanya melihat sekilas sembari berdeham sebagai balasan.

"Abang, aku kok kepikiran, ya?"

"Kepikiran apa, sih, Dek? Masih muda, tapi mikirnya belaga kayak orang tua aja."

Aku mendengus tapi tak urung juga terkekeh kecil membenarkan ucapan Bang Rafa. "Tadi, kan, aku udah bilang sama Gemi tentang yang Abang maksud itu," ujarku membuka cerita.

Bang Rafa terlihat tertarik. "Terus gimana?"

"Terus kata Gemi gini, "Fi, bukannya aku nggak mau. Cuma aku belum siap secara fisik dan batin. Lagian, aku juga belum punya penghasilan yang tetap. Memangnya kamu mau makan cinta doang nanti? Nggak, kan? Makanya, sabar dulu, ya, Fi. Nanti, kalau udah waktunya pasti aku bakal dateng. Cuma, apa pun yang terjadi nanti, aku harap kamu mampu berlapang dada"," ceritaku menirukan ucapan Gemi.

"Aku nggak ngerti masa sama omongan Gemi yang "apa pun yang terjadi nanti, aku harap kamu mampu berlapang dada". Maksud si Gemi apaan coba?" sambungku.

Bang Rafa hanya mengedikkan bahu. "Mana Abang tahu. Lagian udah, sih, Dek, putusin aja orang kayak gitu mah."

Aku merengut. Bang Rafa memang kebiasaan. "Aku serius, Bang. Apa coba maksud lapang dada? Dia udah dijodohin gitu? Klasik amat."

"Dek, Abang nggak tahu apa yang terjadi hari ini dan nanti di antara kalian berdua, tapi Abang cuma ingin kalian itu segera melangsungkan pernikahan. Abang nggak masalah kalau kamu mau langkahin Abang, yang terpenting itu Abang ingin kamu sama Gemi lepas dari dunia pacaran. Akhiri semuanya. Kalaupun Gemi benar-benar cinta dan ingin hidup bersama dengan kamu, sesulit apa pun dia pasti akan berusaha datang ke hadapan Amih dan Apih."

Aku terdiam. Aku tak menampik bahwa aku juga ingin lepas dari dunia pacaran, tapi bagaimana lagi? Sekarang ini, fokusku masih berada pada Gemi. Maafkan aku, Ya Allah.

Gimana sama ceritanya? Ceritain dong kesan pertamanya di part ini..

Mau lanjut apa udah?

Span next/lanjut yu:D

See you,
Lulu🙋

Selembut Ikhlas ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang