Hari Keenam: Kunjungan Malam

222 53 31
                                    

untuk inziati,

penulis berbakat yang sudi berkunjung ke lapak sepi ini.

*

***

*

Aku bersumpah,

ketika bibirku menemukan bibirnya...

waktu seolah terhenti.

---

AKU membuka mata, menatap langit-langit berukir yang sudah sangat kukenali. Cahaya matahari telah masuk menerobos dari antara celah jendela yang tak tertutupi gorden. Aku terbaring melamun selama beberapa saat, berusaha mengumpulkan kesadaran.

Kemudian, kilasan akan kejadian semalam membanjiri ingatanku seperti tanggul jebol.

Delapan jam yang lalu, aku mencium Carina.

Putri Carina dari Eridanus.

Anak perempuan bungsu dari Raja Castor.

Aku mencium anak perempuan bungsu dari Raja Castor.

Aku terduduk, mencengkeram kepalaku dengan kedua tangan dan memaki diri sendiri.

"ARGH, DASAR IDIOT!"

Hening selama beberapa saat sebelum terdengar ketukan pelan dan ragu di pintu.

"Yang Mulia, Anda sudah bangun? Apa Anda baik-baik saja?" Victor bertanya cemas dari luar pintu.

Sepulangnya kami dari desa semalam, situasinya benar-benar canggung. Carina tidak berbicara. Begitupun aku. Kami berjalan kembali ke istana dalam kesunyian. Bahkan kesunyian itu berlangsung hingga aku mengantar Carina ke pintu kecil di Sayap Barat istana yang mengarah ke lorong pekerja. Duke Alphard telah menunggu di sana. Dia tampak lega setengah mati melihat kami kembali dengan utuh. Kemudian aku memintanya untuk mengantarkan sang Putri kembali ke kamar.

Pada saat itu, aku hanya sanggup menggumamkan, "Sampai nanti." kepadanya dengan suara tidak jelas, sementara gadis itu hanya mengangguk dalam diam.

Mendadak aku teringat teriakan seorang gadis dari kerumunan penonton kemarin malam, ketika aku berada di panggung.

"Kami cinta pangeran yang tidak memanfaatkan keadaan!"

Aku meremas rambutku lagi dengan frustasi.

Dia pasti membenciku.

Dia pasti menganggapku semacam pangeran mesum yang hipokrit.

"Y-Yang Mulia?"

Aku membaringkan tubuhku lagi ke atas kasur.

Apa yang kupikirkan semalam? Mengapa aku melakukannya? Euforia sesaat? Pengaruh mead? Tidak, tidak mungkin, aku bahkan hanya sempat minum beberapa teguk...

Ataukah... pengaruh sepasang mata cokelatnya di bawah pijar kembang api di langit malam yang terlihat begitu memesona...

Dan... situasi yang mendukung?

"Yang Mulia, maafkan saya!"

Pintu kamarku terbuka, menampilkan Victor yang bertampang panik.

"Yang Mulia, syukurlah, saya pikir Anda kenapa-napa!" Victor berseru lega, tetapi ekspresi paniknya perlahan berubah menjadi heran, "Mengapa... Anda mengenakan pakaian berlatih?"

To Be A Proper PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang