II. Matahari

44 6 0
                                    

Senin, 5 Agustus 2019

Berita itu sudah tersebar luas. Orang-orang menjauh dariku. Hampir seluruh stasiun televisi menampilkan wajahku dengan embel-embel pembunuh di belakangnya. Aku benar-benar ingin pergi meninggalkan dunia ini. Sungguh, semua perasaan bercampur menjadi satu dalam diriku. Aku lelah mendengar suara orang-orang yang berbisik menyebut namaku dan dikaitkan dengan kematian seorang perempuan yang bahkan tidak aku kenal.

Saat itu aku benar-benar berpikir untuk mengakhiri hidupku. Terlalu sulit hidup dituduh sebagai pembunuh padahal aku tidak melakukan apapun. Menyaksikan pembunuhan katanya? Bahkan aku pingsan karena pukulan keras di bagian belakang kepalaku sebelum aku melihatnya.

Aku berlari ke atap sekolah dan menikmati hembusan angin pagi yang seharusnya menyejukkan bagi orang-orang, namun sangat menyesakkan bagiku. Tidak ada yang bisa aku lakukan. Ayahku hanya seorang pekerja kantoran yang gajinya tidak besar, tidak bisa membayar pengacara hebat untuk membelaku di pengadilan. Pengacara muda lainnya juga tidak ada yang berani membela kasusku, mereka sudah ketakutan ketika aku menyebutkan siapa lawannya.

Aku naik ke atas tembok pembatas atap sekolah, merasakan angin yang semakin kencang, yang dapat dengan mudah mendorong tubuhku untuk terjun bebas. Saat itu aku tidak bisa berpikir jernih, entah ada setan apa yang lewat yang mengatakan kalau semua akan selesai jika aku pergi.

"Mau mati?"

Suara seseorang yang muncul secara tiba-tiba mengurungkan niatku untuk melompat.

"Gausah peduli," sahutku dingin tanpa melihat orang itu.

Alih-alih menolongku, orang itu berkata dengan nada datar, "Yaudah mati saja."

"Tapi jika ingin mati, jangan ambil nyawamu dengan tanganmu sendiri. Kamu akan menyesal nantinya. Lebih baik kamu minta seseorang untuk membunuhmu," lanjutnya.

Aku mendengus kecil. Aku pikir masih ada orang baik yang mau menolongku, tapi ternyata tidak, "Baik. Bunuh aku sekarang."

Orang itu melangkah mendekatiku dan menarik lenganku untuk turun dari tembok pembatas atap sekolah. Aku kira ia akan mendorongku setelah berkata demikian, namun ia malah menyelamatkanku. Ia menatapku datar dan dalam, menimbulkan perasaan aneh tiba-tiba muncul dari dalam tubuhku.

"Apa kau bodoh? Masih banyak orang yang tidak ingin mati tapi harus mati begitu saja karena terbunuh. Mengapa kamu bisa-bisanya menyerahkan nyawamu begitu saja?"

Aku tersenyum remeh, "Untuk apa aku hidup kalau ada orang lain yang mengontrol kehidupanku?"

Lelaki itu tiba-tiba saja mendorongku hingga jatuh. Aku menatap dirinya dan menanyakan apa maksudnya mendorongku. Masih dengan tatapan datarnya, ia berkata, "Kalau belum merasakan ada orang lain yang benar-benar tinggal di dalam dirimu, tidak usah berlagak tahu segalanya akan hal itu!"

***

Ah!

Aku mengingatnya. Suara orang di atap sekolah hari itu, suara orang yang menanyakan keadaanku di koridor, serta suara anak baru itu. Mereka adalah orang yang sama. Siapa dia sebenarnya? Apakah ia mengingatku?

"Masih belum ada niat untuk berbicara dengan saya?" tanya Dan tiba-tiba.

"Aku tidak suka bicara," jawabku acuh tak acuh.

Sesungguhnya aku tidak terbiasa dengan adanya orang yang ingin berbicara denganku. Selama ini orang-orang menghindar dariku sehingga aku menjadi kaku dalam berinteraksi.

Dan tersenyum mendengar jawabanku, "Kalau begitu biar saya saja yang berbicara. Kamu cukup mendengarkan."

Aku mengalihkan pandanganku ke arah buku tulisku. Sebanyak tiga kali sudah aku bertemu dengan Dan, namun ia seperti tiga orang yang berbeda setiap kali kita bertemu.

Matahari & BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang