X. Cerita Tanpa Akhir

33 4 0
                                    

Gelap. Sekelilingku sangat gelap dan aku berdiri sendirian, tidak tahu harus berjalan kemana. Aku terus berputar untuk mencari jalan keluar tapi aku terus kembali ke titik pertama aku berdiri. Nafasku berat, aku tidak tahu dimana aku berada. Aku bahkan tidak punya tenaga untuk berteriak.

Aku melihat ke atas dan mataku tertuju pada satu titik putih kecil. Tanganku berusaha meraihnya tapi titik itu terlalu jauh untuk bisa kujangkau. Titik itu membesar, semakin bersinar hingga silaunya membuat mataku tak sanggup melihatnya. Apa itu sinar matahari? Atau sinar bulan?

Sinar itu lalu menghilang. Aku kembali membuka mataku untuk melihat apa yang telah terjadi. Seluruh kegelapan yang tadi menyelimutiku hilang. Aku tiba-tiba berada di pinggir jalan raya, dimana mobil-mobil sibuk berlalu lalang dan orang-orang yang berlari-lari mengejar bus. Aku berdiri dan mencoba bertanya ke beberapa orang yang berjalan melaluiku, tapi tak ada satupun yang menjawab.

Aku melihat ke atas dan mataku tertuju pada langit biru yang dipenuhi awan. Hanya awan, tanpa matahari ataupun burung yang beterbangan. Cuaca sangat sempurna, tapi entah mengapa perasaanku buruk. Aku memegang dadaku, ada sedikit sesak disana. Aku merasa telah kehilangan sesuatu.

Aku terbangun dari tidurku dan menyadari kalau aku masih berada di dalam kamar tidurku. Ternyata semua itu hanya mimpi. Aku berdiri dan mengambil segelas air di atas meja belajarku. Setelah meneguk air beberapa kali, aku mengingat kembali segala kejadian yang ada dalam mimpiku. Semua terasa begitu nyata hingga perasaan tidak enak yang aku rasakan dalam mimpiku, masih bisa aku rasakan hingga sekarang.

Mataku tertuju pada lukisan yang diberikan oleh Dan kepadaku tadi malam. Aku meraihnya dan kembali memperhatikan lukisan itu dengan seksama.

Matahari egois, begitu pula dengan bulan.

Kepalaku mengulang-ulang kalimat yang dilontarkan Dan.

Langit yang dipenuhi awan.

Mataku bergetar ketika mengingat mimpiku. Perasaan aneh mulai merangkak dari ujung kakiku hingga ujung kepalaku tapi aku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

"Airel!"

Suara pintu kamar yang dibuka secara mendadak oleh Ayah membuat aku menjatuhkan lukisan yang sedang aku pegang. Ayah berjalan cepat menghampiriku dan langsung memelukku. Suaranya terisak, Ayah menangis terharu sambil menepuk punggungku.

"Sudah selesai, Airel. Namamu sudah bersih sekarang!"

Ayah masih terus menangis dan memelukku semakin erat. Aku masih berusaha mencerna kalimat Ayah. Namaku sudah bersih?

"Ayah, tunggu dulu. Ada apa sebenarnya?" tanyaku berusaha untuk melepas pelukan Ayah.

Ayah melepaskan pelukannya dan memegang tanganku, ia menjelaskan apa yang terjadi dengan mata berbinar-binar, "Pembunuh sesungguhnya dari perempuan itu telah menyerahkan dirinya. Sekarang dunia sudah tahu bahwa kamu tidak bersalah!"

Aku tidak paham. Apa benar manusia seperti Henri menyerahkan dirinya sendiri? Apa yang membuatnya tiba-tiba berubah pikiran? Tapi di luar semua itu, yang paling membuatku penasaran saat ini adalah keadaan Dan.

Matahari & BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang