I. Airella Kayonna

88 11 0
                                    

Sekolah. Tempat yang ramai dan seringkali dikatakan sebagai tempat untuk mengukir memori indah. Mengapa? Karena dikatakan pula kalau masa-masa yang kamu lalui di sekolah tidak akan pernah terulang lagi dalam hidupmu.

Aku tersenyum meremehkan setelah membaca tulisan itu dari mading sekolah. Mengapa tulisan semacam ini selalu berhasil masuk dalam majalah dinding? Bukankah tulisan seperti ini sangatlah klise?

Ah, lagi-lagi.

Aku merasakannya. Mata orang yang menatapku dengan tatapan sinis, geli, takut bahkan cenderung jijik. Aku memang sudah terbiasa dengan semua ini, tapi tetap saja hal ini menggangguku. Tidak bisakah mereka meninggalkan aku sendirian?

"Maaf."

Baju seragamku tiba tiba saja sudah basah terkena tumpahan minuman seorang murid yang tanpa sengaja menabrakku. Atau mungkin memang sengaja. Lagi-lagi, aku sudah terbiasa.

"Gapapa?"

Aku melirik sumber suara itu sekilas. Tidak, ia bukan orang yang menumpahkan minumannya kepadaku. Orang itu langsung pergi ketika melihat akulah yang tertabrak. Lalu dia siapa? Mengapa ia berbicara denganku? Bahkan, menanyakan keadaanku?

"Dan? Kamu sedang apa disitu?"

Suara seorang perempuan sepertinya memanggil laki-laki yang menanyakan keadaanku itu. Apalagi ini? Apakah aku terjebak dalam drama percintaan anak sekolah sebagai si 'upik abu' yang nantinya akan berpasangan dengan si 'pangeran berkuda putih'?

"Nggak. Gak ngapa-ngapain. Kamu udah selesai dengan segala urusannya? Langsung pulang?" tanya lelaki itu.

Perempuan itu berjalan mendekati aku dan laki-laki itu, "Tentu. Ayo pulang? Sepertinya Ayah sudah menunggu di rumah."

Mereka pergi. Tunggu, apa aku merasa kecewa? Tentu tidak. Orang itu hanya berpura-pura saja menanyakan keadaanku agar nantinya bisa dengan mudah terkenal seantero sekolah, sebagai orang hebat yang mau berbicara dengan seorang pembunuh.

Senin, 3 Juni 2019

'Ayah, hari ini aku akan pulang terlambat. Masih banyak yang harus aku pelajari untuk ulangan besok.'

Pesan terkirim.

Aku memutar badanku ke kiri dan kanan untuk sekedar melemaskan otot-otot tubuhku yang sepertinya mulai kaku karena bahan ulangan yang luar biasa banyaknya. Mataku sudah sayup dan rasa kantuk mulai menyerang tubuhku sejak 30 menit yang lalu.

Jam menunjukkan pukul 08.16 malam. Masih ada satu bab lagi yang harus aku pelajari dan kepalaku benar-benar terasa akan pecah. Aku memutuskan untuk keluar sebentar menghirup udara segar, dengan harapan kepalaku yang penat ini bisa sedikit merasa kosong.

Ruang studi yang aku tempati ini memang cukup sepi tapi sangat nyaman untuk belajar. Terlebih untuk aku, seorang pendiam yang lebih menyukai keheningan daripada keramaian. Aku membuka sekaleng soda dingin yang baru saja aku beli di minimarket untuk menyegarkan pikiran. Belum sempat aku meminumnya, sebuah perasaan tidak enak ditambah suasana yang dingin secara tiba-tiba menusuk diriku.

Aku melihat sekeliling mencari sumber suara teriakan seorang perempuan yang sangat mencekik. Aku melangkahkan kaki mendekati gang kecil yang gelap dekat ruang studiku. Perasaan sesak dipenuhi kecurigaan semakin menyelimuti dan mendorong diriku untuk pergi ke sana. Belum sempat aku mengintip apa yang terjadi di dalamnya, tiba-tiba semua menjadi gelap. Aku tidak sadar diri.

***

"Hasil ulangan Matematika kemarin sudah keluar, dan lagi, teman kalian, Airella Kayonna mendapatkan nilai yang sempurna."

Matahari & BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang