IX. Realita

29 3 0
                                    

Hembusan angin sore hari itu terasa lebih menusuk dari biasanya. Warna oranye mulai menyelimuti langit dan awan terlihat lebih abu. Biasanya masih banyak murid-murid sekolah yang berlarian menendang bola serta berteriak ketika bola berhasil masuk ke gawang lawan, namun hari itu hanya ada dua manusia yang duduk bersebelahan di kursi pinggir lapangan. Mereka terdiam menikmati angin yang semakin lama semakin dingin.

"Tanganmu bagaimana?" tanyaku pelan setelah melihat tangan Dan yang masih merah merekah.

"Tidak penting," jawabnya dingin.

Aku menarik tangannya secara paksa dan membersihkannya dengan sapu tanganku. Dan diam saja melihat aku menarik tangannya.

"Bagaimana dengan teleponmu? Tadi terjatuh kan?" tanyanya ketika aku sedang membungkus tangannya dengan sapu tanganku.

Aku membungkus tangannya dengan sedikit keras dan melempar tangannya begitu saja.

"Akh!" erangnya kecil.

"Apakah teleponku terlihat lebih penting dari tanganmu?" tanyaku kesal.

Dan mengangguk pelan, "Ya. Karena itu punyamu. Bagian dari dirimu."

Aku melihatnya tidak percaya, "Orang gila."

Dan terlihat memegang tangannya yang terluka, yang kini sudah terbungkus agar mengurangi kemungkinan terinfeksi. Lampu lapangan tiba-tiba menyala, menandakan waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore.

"Bukankah aku sudah bilang padamu kalau aku lebih buruk dari yang kamu pikirkan?" tanyanya tiba-tiba.

"Aku sakit, Airel. Aku tidak normal," sambungnya.

Nada bicaranya tidak biasa. Ia terdengar membenci dirinya sendiri. Ia terdengar butuh dihibur. Ia terdengar memendam kesedihan yang mendalam.

"Lalu? Ada masalah apa? Apakah kamu bukan manusia jika kamu sakit?"

Aku membuka tas sekolahku dan mengambil satu botol kecil dari sana. Botol itu aku berikan kepada Dan dengan hati-hati, "Ini."

Mata Dan membelalak ketika melihat botol itu dan langsung merampasnya dari tanganku, "Ini.. Bagaimana ini bisa ada denganmu?"

"Benar. Malam itu aku mengambilnya karena botol itu terjatuh di jalan," jelasku.

Dan mendengus, nada bicaranya kembali dingin, "Artinya kamu sudah tahu sejak awal? Jadi selama ini kamu mau berteman denganku karena kasihan dengan aku yang penyakitan?"

"Kenapa aku harus kasihan denganmu?" sahutku datar.

"Aku tidak sedang berada di posisi dimana aku bisa kasihan dengan orang lain apalagi peduli dengan orang lain. Terlebih kamu adalah anak dari orang kaya, ketua yayasan sekolah kita yang sangat terhormat," lanjutku sarkastik.

"Lalu apa alasanmu?"

"Keadaanmu. Sama sepertiku, kamu terlihat sangat lelah, sangat kesulitan sampai di posisi dimana kamu ingin meninggalkan dunia ini. Karena itu aku bertahan di sisimu."

Kami kembali terdiam untuk beberapa saat. Dan terlihat kebingungan. Bibirnya sedikit bergerak seperti ini mengatakan sesuatu tapi tertahan. Selama ini aku berusaha untuk tidak pernah membuka perban yang dengan susah payah aku gunakan untuk menutup luka. Aku tidak pernah sekalipun membahas kejadian yang sebenarnya menimpaku kepada siapapun.

Tapi tiba-tiba saja aku mengeluarkan pertanyaan yang seharusnya tidak pernah aku tanyakan.

"Apakah kamu pernah membunuh seseorang?"

Mata Dan melebar. Ia kembali menatapku penuh kecemasan dan tangannya mulai bergetar lagi. Tentu saja ia akan merasa kaget dengan pertanyaan menyeramkan yang aku lontarkan.

Matahari & BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang