VIII. Goresan Luka

20 4 0
                                    

Dan kembali ke rumah dengan perasaan yang ringan dan penuh senyuman. Ia membuka pintu utama rumahnya dan mendapati Jan sudah berdiri dekat pintu dengan gelisah. Jan segera menghampiri Dan begitu adiknya kembali.

Jan memberi tatapan kepada Dan untuk berhenti senyum-senyum sendiri karena keadaan rumah sedang tidak baik. Dan memiringkan kepala dan menaikkan kedua alisnya, bertanya ada apa sebenarnya. Mata Jan berputar ke arah seseorang yang duduk diam di ruang tengah. Dan melihatnya dan mendengus tidak peduli. Ia langsung pergi ke arah tangga untuk naik ke kamarnya.

"Dari mana kamu baru pulang?"

Henri yang dari tadi diam akhirnya membuka suara, membuat langkah Dan menuju kamarnya terhenti.

"Apa hubungannya dengan Ayah?" tanya Dan datar.

"Apakah kamu bepergian sendiri tadi?" tanya Henri, mengabaikan pertanyaan Dan.

"Aku bilang apa hubungannya dengan Ayah?!" tanya Dan lagi dengan nada meninggi.

Henri bangun dari tempat duduknya dan berjalan mendekati Dan, "Apa kamu tidak puas membuat masalah? Kamu tahu berapa banyak hal yang harus Ayah selesaikan karena ulahmu dulu?!"

"Yaa!!" teriak Dan.

Suasana rumah seketika menjadi sunyi dan tegang. Jan yang tadinya hendak naik menenangkan Dan lebih memilih untuk diam dan membiarkan Dan mengeluarkan segala isi hatinya.

"Aku tahu! Aku tahu selama ini aku hanya beban bagi Ayah! Ayah tenang saja, aku hanya akan menjadi parasit hingga lulus sekolah. Setelah itu aku akan mengurus diriku sendiri dan pergi dari rumah ini. Aku tidak akan lagi mengganggu Ayah dan perusahaan kebanggaan Ayah!"

Dan melanjutkan langkahnya menuju kamarnya, namun ia harus kembali berhenti ketika Ayahnya mengajukan satu pertanyaan.

"Kamu berani-beraninya bepergian bersama perempuan?" tanya Ayahnya lalu tertawa meledek.

"Kamu tidak ingat apa yang sudah kamu lakukan? Kamu pikir kamu punya hak untuk mendekati seorang perempuan, Daniero?"

Dan yang sudah tersulut emosi mengepalkan kedua tangannya. Jan berusaha menghentikan Ayahnya dari pertengkaran ini tapi ia diperintahkan untuk jangan mengganggu.

Dan berbalik dan menatap orang yang merupakan Ayah kandungnya lekat-lekat, "Ya. Aku tahu aku tidak punya hak untuk itu. Maka dari itu aku hanya akan berada di sisinya sebagai seorang teman."

"Aku sadar seberapa besar aku menyukainya, tapi aku juga sadar bahwa aku bukanlah orang yang baik untuk dirinya."

***

Untuk kedua kalinya perjalanan pulangku menuju rumah terasa sangat berat. Aku melihat langit yang hari ini lagi-lagi dipenuhi dengan bintang. Apakah langit sebenarnya memang berada di pihakku?

Aku tersenyum kecil memikirkan hari ini. Aku berkali-kali bertanya kepada diriku sendiri, apa aku pantas untuk berbahagia seperti ini? Bukankah dengan aku yang berbahagia seperti ini, malah menyakiti orang-orang yang masih mendukungku? Yah, walaupun orang yang mendukungku hanyalah Ayah.

"Ayah, aku pulang," kataku sambil melepaskan sepatu dan kaos kakiku.

"Padahal Ayah kira hari ini Ayah akan pulang telat. Nyatanya anak perempuan Ayah satu-satunya ini sudah mulai menjadi anak malam," ujar Ayah yang terlihat sedang berbincang dengan seseorang di ruang tamu.

"Ayo cepat masuk, Airel. Biar Ayah perkenalkan dirimu dengan Pak Alex," lanjut Ayah.

Aku masuk ke rumah dan memberi salam pada orang yang disebut sebagai 'Pak Alex' oleh Ayah.

Matahari & BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang