Pertanda Buruk

30 5 2
                                    

"Tadi ibu itu bilang, kalo dulu itu ada sebuah perkampungan yang warganya anti sekali terhadap 'ilmu hitam'. Dan ternyata, salah satu penduduk wanita di kampung tersebut menganut aliran sesat atau ilmu hitam. Hingga pada suatu hari terdengar kabar bahwa, wanita tersebut meninggal karena ulahnya sendiri. Nah, karena warga di sana anti banget sama yang namanya ilmu hitam, akhirnya wanita itu dibuang dan dibakar di sebuah hutan yang agak jauh dari desa itu. Ilmu hitam yang ia pelajari pun masih melekat di dalam jiwanya, hingga tak jarang ia meminta tumbal dan mengabadikan setiap jiwa orang yang pergi ke sana. Maka dari itu, wilayah di dalam hutan tersebut dinamakan sebagai Lawang Wates, karena saking jarangnya orang yang masuk ke dalam sana bisa keluar dengan selamat."

"Uwaw, udah kek di pilem-pilem, yak!" kata Jaya, tak pernah serius.

"Huss, Jay!" sentak Sindi

"Intinya harus jaga sikap, berdo'a dan mematuhi setiap pantangan yang ada." sambung Hana

"Nih, Jaya biasanya, nih. Sompral!" cetus Sindi

"Nye, nye, nye." Sembari menggoyangkan kepala dan mengatup-ngatupkan jari jemari, menirukan sebuah mulut yang berbicara. Jaya meledek.

"Kita yakin, bakal masuk ke sana?" tanya Angel, memastikan.

"Ya iyalah, udah di pertengahan juga" jawab Sindi, tak ingin perjalanannya sia-sia.

"Tapi, kalian ngerasa nggak sih, kalo dari tadi perjalanan kita itu nggak pernah mulus?" tanya Hana

"Adaa aja halangannya." sambung Angel

"Iya, sih. Cuma kita positif thinking aja." jawab Reno

Beberapa saat kemudian, mereka sampai di wilayah yang sepi. Melewati jalan raya yang tertutup oleh pepohonan yang rindang.

Satu jam lagi, mereka akan sampai di sebuah vila yang sudah mereka pesan sebelumnya. Namun, gerimis datang, dilanjut dengan hujan deras disertai angin yang kencang.
Terpaksa, Shandy harus mengurangi kecepatan mobilnya.

"Sepi banget ya, di sini." Angel mengedarkan pandangannya ke kanan dan kiri jalan yang hanya dipenuhi oleh pepohonan hijau.

Beberapa saat kemudian, semua yang ada di mobil itu melihat ke ujung jalan. Terlihat jelas seseorang dengan jas hujan hitam, berdiri di tengah jalan.
Shandy mengklakson mobilnya, tetap saja, orang itu diam mematung.

Bertanya-tanya dalam hati, itulah yang mereka rasakan saat ini. Deg-degan? Pasti.
Mobil pun berhenti di dekat orang itu. Jalan ini sempit, sedangkan orang itu berada di tengah jalan. Shandy dan Reno keluar dari mobil. Pisau tajam kecil sudah ada di celana bagian belakang Reno. Bersiap-siap jika orang itu berbahaya bagi mereka.

Shandy menepuk pundak orang itu, dan berkata, "permisi, pak. Mobil saya mau lewat."

Dia menoleh. Melihat wajah Shandy, lalu Reno, dengan tatapan yang tajam. Beberapa saat kemudian, ia pun menepi ke pinggir jalan tanpa sepatah kata.
Aneh? Banget.
Orang-orang di mobil pun hanya bisa menyaksikan kejadian itu tanpa komentar sekalipun.
Reno mengajak Shandy untuk kembali ke mobil, mengabaikan sikap aneh orang itu.

"Udahlah. Yuk!" Menepuk pundak Shandy.

Mereka masuk ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda.

Sindi yang selalu penasaran, akhirnya bertanya kepada Shandy, "itu siapa, sih?"

"Kayaknya sih, manusia" jawabnya

"Ya kali setan!" sahut Jaya dengan nada tinggi.

"Heh, congornya, ya! Nggak bisa dijaga!" bentak Sindi

Lawang WatesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang