Asami telah berbaikan dengan Hazawa Mikan dan keduanya kini berteman dekat. Lantas gadis yang tidak kuketahui bentuknya itu setuju untuk membantu Maeko meringkus si penguntit dan peneror. Sebab entah bagaimana ia serupa dengan Si Kucir Dua, sama-sama menyukai CherryPossum alias Maeko.Rencananya sederhana, pertama, sebagai makhluk yang berdiam dalam kamar selama hampir dua tahun, Mikan telah menguasai teknik-teknik berkomunikasi dan mempengaruhi orang melalui pesan-pesan singkat. Ia akan memancing si penguntit dengan menghubungi, berteman, dan meminta pertemuan-pertemuan. Seluruhnya dilakukan melalui akun-akun yang mengirim berbagai foto serta teror kepada Maeko.
Kedua, Mikan yang masih bersikeras menolak dunia luar tidak akan datang memenuhi pertemuan-pertemuan yang dijanjikan. Maeko, Asami, Kazuhiko, dan aku yang akan mengambil alih posisi Mikan, menemui serta meringkus si penguntit.
Ketiga, Maeko akan memberi banyak pelajaran dan perhitungan intim dengan si penguntit, itu saja. Memang terdengar mudah dan sederhana, tapi nyatanya tidak. Mikan telah banyak memutar otak dan berusaha untuk dekat dengan GoodbyeKitty--akun si penguntit, ia bahkan mengaku membenci karya serta tingkah CherryPossum--Maeko. Namun rencana sederhana yang diperkirakan akan rampung sebelum ujian selesai, harus mundur hingga pertengahan Desember.
Jadi saat ini, hanya aku dan Maeko yang menunggu di pojok Cafe Lupin--dekat stasiun Ueno--dengan topi, masker, dan kaca mata menutupi wajah. Kazuhiko dan Asami sangat ingin menangkap si penguntit, tapi keduanya harus menghadiri kelas perbaikan agar dapat menikmati libur musim dingin dan tahun baru. Nilai mereka memang membaik, sayang nyaris menyentuh batas Aman untuk satu-dua mata pelajaran.
"Kamu yakin ia memakai baju merah?" Maeko berbisik di hadapan ponsel pintarnya. Gadis tangguh itu sedang menelepon Mikan untuk memastikan ciri-ciri si penguntit. Aku yakin ia gusar dan mungkin mulai meragukan keberhasilan rencana besutan Asami. Sebab waktu pertemuan sudah lewat lima menit, tapi manusia berbusana merah dengan pita serta tas selempang putih belum menampakkan diri.
"Tidak ada, coba kamu tanyakan ia ada di mana!" Suara Maeko sedikit meninggi dan aku cepat-cepat menaruh telunjuk di bibir. "Tolong tanyakan," Ia melanjutkan.
"Tenang saja, mungkin sebentar lagi." Aku berusaha menghibur sambil mengaduk-aduk cokelat panas dalam cangkir. Musim dingin telah resmi melengserkan si gugur dan minuman paling sedap untuk dinikmati di udara dingin adalah cokelat, teh, susu, dan kopi panas.
"Bagaimana jika ia tidak datang?
Aku yakin pelaku bersekolah di Ueno dan kelas perbaikan dilaksanakan hari ini, ia bisa saja tidak datang karena mendapat nilai merah." Aku menanggapi Maeko dengan gelengan, memaksa Gadis yang tidak ada manis-manisnya itu untuk berhenti berpikiran negatif. "Itu."Maeko mengangkat buku menu dan menutupi wajahnya sambil menunjuk ke arah meja bundar di samping pintu masuk. Seorang gadis berambut cepak baru saja mendudukkan diri, ia mengenakan jaket merah gelap dengan syal dan tas selempang putih. "Coba kamu pastikan dulu ke Mikan!"
"Tidak perlu." Maeko berucap mantap sebelum melepas masker, topi, serta kaca mata. "Aku mengenalnya, ia dari SMA Saita, aku mengalahkan ia kemarin, di pertandingan karate se-Tokyo."
Aku mulai menebak-nebak motif dari si penguntit, seperti pembalasan akan kekalahan, sakit hati serta iri yang berkepanjangan. "Tapi bagaimana ia bisa mendapat foto dari dalam gedung SMA Ueno?" Aku kembali mempertanyakan, takut-takut bila Maeko salah menuduh.
"Ia pasti tidak sendiri, tapi tidak apa-apa, satu saja cukup untuk meringkus yang lainnya." Gadis berambut pendek yang gemar menyombongkan diri--Maeko--berdiri dengan tiba-tiba, menimbulkan bunyi melengking dari kursi dan meja. Pengunjung Cafe Lupin serentak menatap ke arah Maeko, mengamati apa yang sebenarnya menimbulkan suara-suara tidak sedap, termasuk si penguntit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Komorebi
Teen FictionMasing-masing dari kita adalah cahaya yang lolos dari sela-sela dedaunan. Lembut dan hangat, memeluk tiap-tiap emosi yang ditumpahkan dengan membabi-buta. Lantas, siapa yang lebih terang? Omongan orang-orang, impian yang dipaksakan, mereka yang dipe...