16. Kedalaman Manusia

14 3 0
                                    

Aku tahu Kakek berasalan, ia berkilah mengatakan begitu banyak mesin-mesin sederhana yang harus ia perbaiki sebelum petang. Padahal aku sudah membetulkan sebagian besar kemarin, setelah membantu Paman Nakamura dan Paman Ito menghias jalanan Yanaka Ginza dengan pernak-pernik natal. Ia--Kakek--jelas tidak pandai berbohong dan tidak ingin menerjunkan diri dalam urusan-urusan yang sejatinya memerlukan bimbingannya.

"Ayo pergi," laki-laki paruh baya di seberang meja angkat bicara. Kata-katanya berbau busuk dan amis di saat yang bersamaan. "Sudah cukup bukan? Kamu tidak berhasil membuktikan apa-apa." Mudah sekali ia bicara setelah membuatku menghabiskan begitu banyak waktu untuk mengambil kerja-kerja sambilan dan meratapi kondisi Ibu.

"Tidak, aku berhasil, perjanjiannya berbunyi aku harus bisa bertanggung jawab atas Ibu dan diri sendiri, aku bisa membayar perawatan Ibu dan tidak membuat masalah." Senyum tipis sengaja kuperlihatkan sebelum kalimat-kalimat pengusiran diperdengarkan. "Jadi aku akan tinggal di sini, dengan Kakek dan Ibu, kamu tidak perlu datang lagi."

Lawan bicaraku mengacak rambut sambil menunduk, berkali-kali ia menggeleng seperti sedang menenangkan kejengkelan atau kemarahan. "Kamu tidak bisa." Ia melembut sebelum melanjutkan.

"Uang itu kamu dapat dari mengemis pekerjaan pada Nakamura bukan? lalu bagaimana dengan nilai ujianmu, kamu menganggap itu bukan masalah? " Jari telunjuknya mengetuk-ketuk meja ruang tengah dan sesuatu yang tidak aku sukai menguar dari tubuhnya. Mungkin kebencian dan kasih sayang yang bergelut menjadi satu, atau bukan keduanya. "Sungguh, aku tidak bisa mengabaikanmu, kamu harus melihat dengan jelas."

Aku menunduk, kedua tanganku saling bertautan di kolong meja, menari-nari bersama berbagai usaha untuk berpikir kuat dan tegar. Sayang, aku mengerti bahwa pertahananku tidak kokoh dan laki-laki paruh baya di seberang meja mampu mendobraknya kapan pun ia mau. Seperti saat ia menyeret tubuhnya dari kekangan Ibu lima tahun lalu, atau ketika Ibu mengatakan dengan jelas bahwa ia tidak lagi menginginkan Ayah. Benar, aku takut dan tidak tangguh seperti anak lelaki kebanyakan.

"Aku juga bekerja pada Nenek Yadori, aku tidak mengemis." Kalimatku terhenti dan sulit untuk diteruskan. "Aku hanya, terlalu banyak mengajari kawan-kawanku sampai lupa untuk belajar sendiri, jadi aku akan tetap tinggal di sini."

"Dengarkan dengan baik Ryu." Ia memberi perintah, tidak ada ancaman dan penekanan dalam kalimatnya, tapi aku membeku tanpa bisa membantah. "Kamu baru saja membuktikan bahwa kamu tidak cukup mampu, kamu juga menggunakan ibumu untuk mendapat tempat di Yadori bukan? Lalu kawan-kawanmu, mereka tidak bisa dijadikan alasan." Ia berhenti mengetuk dan berganti melipat tangan.

"Aku tahu kamu sudah mengunjungi ibumu, pasti itu yang membuatmu kesulitan dan nilai-nilai inilah hasilnya, karena ia tidak mengingatmu dan tanpa sadar menyakitimu." Laki-laki itu seperti menatap tepat ke dalam pikiranku, menjijikan, menakutkan. "Aku tahu apa yang kamu pikirkan."

"Tidak," kalimatku mengering dan Ayah kembali menghancurkan apa-apa yang telah kususun.

"Pikirkan masa depanmu, apa kamu akan terus mengambil kerja sambilan, mengabaikan sekolah, dan mengurus wanita yang melupakanmu?" Aku rasa tidak masalah jika memang harus. Mengingat aku tidak ingin menghianati Ibu dan kasih sayang  yang tersisa di sisi-sisi ruang tengah.

"Aku akan tetap di sini, aku akan berusaha untuk tidak mengabaikan sekolahku, juga aku cukup pintar, dan mungkin bisa." Aku berusaha menjawab, tapi tidak cukup.

"Kamu tidak bisa, bahkan jika kamu berhasil mempertahankan nilai dan meloloskan diri dari ujian masuk, kamu tidak akan bisa membayar, seluruhnya akan habis karena wanita itu." Aku tahu, kepalaku telah memetakan apa-apa yang mungkin terjadi sejak Ayah ingin membawaku pergi.

Entah apa yang dipikirkan oleh Ayah setelahnya, tapi ia mengambil napas panjang seperti lelah atau penat akibat perjuangan panjang. "Aku berusaha membantumu Ryu, aku hanya ingin kamu ikut denganku dan mendapatkan yang terbaik, aku bahkan berjanji akan terus membiayai ibumu, aku tidak akan melarangmu kembali ke Jepang untuk menjenguk, tempat ini juga, tidak akan hilang begitu saja." Benarkah? Apa ia memegang niatan baik? Bagaimana jika tidak ada lagi yang tersisa saat aku kembali?

KomorebiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang