Angin sepoi malam membiarkan rambut gadis itu tertiup angin, namun gadis bernama Lisa tidak memiliki niat untuk berpindah tempat duduk atau sekadar menguncir rambutnya. Matanya kini fokus dengan ponsel yang ia genggam.
Nebula: nanti gue tunggu di etude langsung ya.
Karena kukuhan Nebula, Lisanjana jadi pasrah dan memilih untuk berjalan bersama Bams malam ini. Kini dia sedang duduk di lobi hotel menunggu Bams turun dari kamarnya, gadis itu sempat menjemput Bams dikamarnya, namun lelaki itu belum siap-siap.
Udara malam ini sangat dingin, lebih dingin dibanding Bandung. Tentu saja, ini kota Seoul. Gadis berponi itu hanya memakai hoodie dan celana bahan berwarna peach. Dia tidak tahu udaranya akan sedingin ini. Gadis itu memakai kupluk di kepalanya lalu memasukkan tangannya ke dalam saku hoodie.
"Bams lama banget sih," ujar gadis itu lalu menunduk menatap ujung sepatunya.
"Udah tau ini di Korea. Jangan pake hoodie doang, gak bakal cukup," ucap seorang lelaki sambil melilitkan syal di leher gadis itu. Dari suaranya, sepertinya Bams. Dan benar saja, saat Lisa mengangkat kepalanya, dia melihat wajah datar Bams yang sedang menatapnya.
"Kita ke taman deket sini aja, gak jauh, kok," ucap Bams lalu berjalan lebih dulu meninggalkan Lisa dibelakangnya. Gadis berponi itu hanya mengikuti Bams dari belakang.
Bams berhenti dan berdecak kesal, "sini, maju."
Dengan ragu, gadis itu maju ke samping Bams dan ikut berjalan. Tidak ada yang berkutik diantara mereka. Hanya ada suara mobil dan suara sepatu yang beradu dengan aspal untuk menemani mereka berjalan.
"Maaf."
Hanya itu yang keluar dari mulut Bams untuk memecahkan keheningan. Jujur saja, Lisa sudah memaafkan Bams. Dia tidak butuh ucapan maaf dari Bams, dia hanya butuh... ah, sudahlah.
"Lo gak salah."
"Oke, intinya, I'm so sorry karena udah bentak lo tadi pagi. Lo tahu, gue cuman khawatir berlebihan sama dia," ucap Bams.
"... lo tahu, berlebihan itu gak baik."
"Gue tahu... tapi hati gue gak bisa ngilangin rasa khawatir gue ke dia," ujar Bams lirih. Lisa hanya mengangguk mengerti.
"Lo... suka sama Nela?" Tanya Lisa sambil menghentikan langkahnya, begitu juga dengan langkah Bams. Mereka saling menatap satu sama lain.
"Lo bercanda," ucap Bams sambil terkekeh lalu mengalihkan pandangannya.
"Mulut lo bisa bohong, tapi mata lo enggak, Bams," ujar Lisa serius. Kali ini Lisa benar benar mendengar pernyataan yang benar dari Bams.
Lelaki bersurai hitam itu hanya menghela nafasnya samar lalu berkata, "gue juga gak minta diri gue buat terlahir suka sama dia."
"Gue tahu, jadi, lo suka sama dia?" Tanya Lisa memastikan. "Gue... gue bisa bantu kalau lo mau," lanjutnya.
"Ya, I like her. Enggak, biarin perasaan ini gue pendam sendiri," jawab Bams sambil tersenyum tipis.
"Sejak kapan?" Tanya Lisa.
"Apa?"
"Sejak kapan lo suka sama Nela?"
Bams menatap ujung sepatunya lalu menatap ke arah jalanan, "2 years ago."
Lisa menaikkan kedua alisnya terkejut, "selama itu?"
"Gue gak tahu harus gimana, Ca. Gue takut... gue takut kalau gue ungkapin perasaan gue, dia malah menjauh," ucap Bams lirih. Dari tatapannya, Lisa tahu kalau Bams terlihat takut. Takut kehilangan gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Drama
Teen Fiction"Gue suka sama lo. Lo juga pasti suka sama gue. Jadi, ayo pacaran!" Sejak kalimat itu hinggap dikehidupan Jeka, status kejombloannya telah sirna. Namun, siapa sangka ternyata sejak itu pula drama kehidupannya muncul. ©innerale 2020