|| HAPPY READING^^ ||
***
Alin menghembuskan nafas kasar. Ibunya Alin memang bekerja di rumah Leon, sebagai asisten rumah tangga. Tidak terbayang olehnya bagaimana ibunya diperlakukan di rumah itu. Namun dari semua tempat, hanya di rumah itulah pendapatan ibunya bisa lebih tinggi. Bahkan bisa dua hingga tiga kali lipat dari gaji di tempat lain.
Sementara ayahnya punya usaha bengkel di garasi rumah mereka, pendapatannya pun tidak menentu. Terkadang ayahnya juga bekerja sambilan menjadi tukang bangunan jika ada yang memintanya. Untuk kebutuhan sehari – hari mereka masih bisa dicukupi, sangat cukup malah. Tapi untuk keperluan lain seperti sekolah Alin, itu pengecualian. Biaya sekolahnya sejak SMP mengalami peningkatan terus – menerus. Alin tidak mau menyusahkan mereka seperti ini. Ia tidak pernah mempermasalahkan pekerjaan orangtuanya. Alin bahkan bersedia untuk berhenti sekolah. Menurutnya, ilmu tidak hanya didapat dengan sekolah saja.
Namun orangtuanya menolak hal itu. Mereka ingin agar Alin bisa mendapat pendidikan yang baik. Meskipun biayanya tidak sedikit, namun prestasi Alin di sekolah belum pernah mengecewakan orangtuanya. Mereka ingin agar pengetahuan yang Alin punya dimanfaatkan dengan baik untuk kesuksesan Alin di masa depan.
Kringgg...
Bel istirahat berbunyi dua kali. Alin merapikan buku dan alat tulisnya. Ia melirik Diva yang masih pulas dalam tidurnya.
"Bangun woi!!" semburnya.
Diva yang baru sadar dari mimpinya gelagapan mencari sesuatu.
"Eh boneka gue manaaa ??" teriaknya sambil mencari sesuatu di dalam tas.
"Gini amat temenan sama orang gak waras." Ucapnya pada Diva yang masih mengobrak – abrik tasnya.
Diva menoleh perlahan pada Alin.
"Huaaaa lu jahat bangett !! Gue lagi mimpi ke timezone sama bias gue Alinn!!" teriaknya
"Idih, tau lu idup aja kagak. Mau ke kantin gak lu ?"
"Yodah deh." ucapnya sambil memanyunkan bibirnya.
"Monyong trus tuh bibir."
***
"Nongkrong ga nih ?" ajak Kevin pada tiga sahabatnya.
"Males ah, ngantuk gue. Perasaan kmaren gue masi enak rebahan, hari ini udah disini aja," gerutu Ali.
"Ah ga asik lu pada, masa kita diem – dieman doang gini di kelas. Gabut anjir," sahut Brian sambil mengeluarkan hpnya.
"Yee si kunyuk nge-push rank juga lu." Ali melempar Brian dengan pena.
"Lu gak ke kantin Le ?" tanya Kevin pada Leon.
"Kok gue ngakak yak Leon dipanggil Le." Brian tertawa.
"Kurang ajar lo. Gosipin orang di depan orangnya kan bangke." Leon menoyor kepala Brian.
"Woi woi diem ah, kalo gue kalah ni lu traktir gue harus!"
"Bodo amat ah. Gue laper nih, kantin yok." Leon memelas pada teman – temannya.
"Noh gangguin aja si Brian."
"E-eh jangan anjir."
Leon berusaha menyentuh hp Brian. Menekan – nekan layarnya hingga Brian hilang fokus.
"Apaan si lu ah rese banget. Kalah dah gue." Brian menimpuk Leon dengan bukunya.
"Skuy kantin." Leon bersorak.
"Traktir gue gak mau tau !"
"Aman bro!"
"Lu pada ga ikut ?" Brian menoleh pada Ali dan Kevin.
"Lanjut gih, ngantuk gue," jawab Ali dengan kepala yang sudah diatas meja dengan mata terpejam.
"Yaud." Brian menyusul Leon yang sudah jalan duluan.
Leon dan Brian berjalan menuruni tangga. Kelas mereka terletak di lantai dua. Penjurusan baru akan dilakukan saat hari terakhir MOS. Jadi kelas hari ini dan dua hari kedepan hanyalah sementara.
Bruggg...
Leon tersentak. Tubuhnya menabrak seseorang. Leon menarik nafas gusar sepersekian detik kemudian setelah ia tahu siapa yang tidak sengaja ditabraknya.
"Mata lu dimana si hah ? Hobi banget nabrak orang," sindir Leon.
"Lah kok lu nyalahin gue si? Orang lu juga yang tiba – tiba muncul yha mana gue tau," Alin yang baru keluar dari kelasnya tidak terima.
"Nyolot banget dikasi tau." Leon menatap lekat – lekat Alin dari atas sampai bawah.
"Orang kayak lu ga pantes ngomong sama gue."
Leon berjalan meninggalkan Alin yang melongo di belakangnya, disusul oleh Brian.
"Lu kenapa si ? Dari tadi pagi sinis amat sama tuh cewek. Cakep padahal," ucap Brian sambil menoleh ke belakang.
"Hah ? Cewek kampungan gitu lu katain cakep ? Selera lu rendah amat." Leon tidak terima.
Leon ingat siapa cewek itu. Anak dari asisten rumah tangga yang bekerja di rumahnya. Ibunya Alin, Santi, bekerja dengan sangat baik di rumahnya. Hanya saja ibu Leon, Laras, sangat keras terhadap Santi. Bahkan Laras sendiri yang memberi tahu Leon agar tidak usah mendekati orang seperti mereka. Leon awalnya tidak terima. Tapi ibunya bersikeras. Mereka tidak pantas. Leon mengalah. Tidak mendekati Alin seharusnya bukan masalah besar baginya bukan ?
***
LEON BELAGU BGT DEH, JADI PENGEN DI TAMPOL -,
THANKS FOR READING^^ JANGAN LUPA VOTEMENT <3
KAMU SEDANG MEMBACA
INDIETRO [ ON GOING ]
Romance"Cewek kayak lu ga pantes ngomong sama gue!" Hari ini Leon bisa saja berkata seperti itu pada Alin, anak dari pembantunya. Namun siapa sangka jika besok atau lusa ia akan bernasib sama dengannya? Ini bukan kisah tentang si miskin dan si kaya. Ini ki...