Sial.
Sial.
Asa tidak bisa terlambat.
Tidak setelah dia sudah memutuskan untuk mengejar beasiswa.
Biasanya, Asa sempat berlari-larian menuju ke gerbang yang hendak ditutup, meskipun ia harus menerombol, dan tidak jarang ia terdorong-dorong karena tingginya yang yasudahlah ini, tetapi toh semua itu setimpal, karena ia berhasil masuk dan tidak terlambat, dan yang terpenting, buku tatibsinya bersih, dan ia bisa mendapatkan beasiswa yang ia incar.
"Sialan."
Asa hampir putus asa. Iya, hampir. Karena tidak lama, ada celetukan dari seseorang yang tidak pernah Asa bayangkan akan mengajaknya bicara.
"Lo mau masuk?"
Is that even a question?
Asa menyipit, mendongak menatap sosok jangkung yang berdiri di sebelahnya ini. Bumi Janakarsa.
"Ya iyalah, Kak."
Kakak kelas. Yang baru Asa benar-benar tahu sosoknya kemarin, saat ada di kelas intensif Bu Refa. Cowok itu sebenarnya lumayan terkenal. Asa tahu namanya yang sering seliweran disebutkan oleh banyak siswi, lalu oleh Wynetta, sahabatnya sendiri, dan oleh guru-guru yang mengeluhkan, maupun memuji cowok itu. Dan Asa, benar-benar baru tahu wajahnya kemarin.
It's not a big deal, right? He's not an actor or whatsoever.
Lamunan Asa terbuyarkan ketika ia merasakan tangannya ditarik oleh Jana.
"Apa sih, Kak!" ujar Asa sambil menepis tangan Jana yang mencekal pergelangannya. Langkah cowok itu terlalu panjang, dan berani-beraninya cowok ini memegang-megang tangannya.
Jana berhenti di depan sebuah pagar kokoh. Lalu melepaskan cekalannya pada pergelangan Asa. Cowok itu menatap Asa, bergantian dengan pagar kokoh itu.
"Apa sih, Kak."
"Manjat. Terus lompat dari pohon yang di sebelah sana."
Gila. Selain terkenal, sepertinya cowok ini juga gila.
"No thanks."
Jana menatap Asa beberapa saat. "Gua bantuin naik deh."
Asa tetap menggeleng, dan Jana mengangkat bahu. "Ya udah kalo lo maunya telat. Terserah."
Asa menggigit bibir. Ini bisa jadi merupakan satu-satunya kesempatan yang dia punya. Tetapi, memanjat? Yang benar saja!
"Kak!" panggil Asa akhirnya, sebelum Jana naik terlalu tinggi. Cewek itu menatap Jana yang sekarang sudah kembali berdiri di hadapannya sambil tersenyum mengejek. "Ya udah. Gua mau lewat sini. Gimana caranya?"
Jana mengambil posisi setengah berjongkok, lalu ia meletakkan kedua telapaknya setinggi lutut. "Naik sini. Gua berdiri, lo harusnya udah bisa sampe di pijakan yang paling atas."
KAMU SEDANG MEMBACA
fluorescent adolescent
Ficțiune adolescențiKarena, setiap remaja, memiliki setiap rona-nya masing-masing. Tentang masa lalu, tentang cita-cita, tentang keinginan, tentang harapan dan berharap, dan, tentang cinta. ©2020