bagian sebelas

216 53 21
                                    

"Tidur, Genta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Tidur, Genta."

Genta menatap Senja yang mendadak menghubunginya via Skype pukul dua pagi, dan hal pertama yang dikatakan oleh Senja adalah, "Udah minum?". Seolah tidak ada hal lain yang lebih penting, atau darurat.

"Iya, ini satu kali lagi aku baca, terus aku tidur."

Senja, dengan wajah bantalnya, memutuskan untuk tidak membantah Genta lagi. "Emang gimana simulasinya yang kemarin?"

Genta terdiam sebentar. Gerakan matanya yang menyapu LKS biologi mendadak berhenti. "Kalah 1,25 poin dari Alva."

"That's okay, okay? You don't need push yourself this hard, Ta."

"You... don't understand."

"Then make me." Suara Senja naik setengah oktaf, dan Genta tahu, cowok itu sudah salah bicara.

"Sori, aku salah," gumam Genta sambil tersenyum tipis, dan yang membuat Senja memilih untuk mengalah adalah ketika ia melihat mata Genta. Mata Genta memang tidak berbinar seperti Nolan dan Jana, atau setenang Adam, tetapi mata Genta tidak pernah selayu ini sebelumnya.

"Enggak. Sori. Nggak ada yang salah, oke?" Senja berusaha tersenyum, membuat Genta akhirnya mengangguk.

"Kamu tau nggak sih, Ta, kalo aku bakal ada buat kamu kalo kamu butuh?"

Genta tahu. Sungguh. Ia tahu hal itu. Dan, ia tahu satu hal lagi: bahwa ia tidak bisa menjamin akan selalu ada untuk Senja saat cewek itu butuh.

Dan, bahkan, sampai matahari terbit pun, tidak ada yang berubah.

"Pagi."

"Hah? Apa sih, Bang, Asa buru-buru nih."

Arsa menatap Asa yang memang terlihat buru-buru, dengan rambut yang masih berantakan, dasi yang belum diikat, dan kaus kaki yang tingginya beda, adiknya itu tampak... sama sekali belum siap untuk berangkat sekolah.

"Pelan-pelan dulu, benerin itu dasinya."

Asa mengibaskan tangan sambil mengikat tali sepatunya. "Ntar juga bisa. Buru-buru banget. Males kalo telat ntar ketemu sama...."

Keheningan tercipta di antara keduanya. "Sama siapa?" tanya Arsa akhirnya.

Asa lagi-lagi mengibaskan tangannya, kali ini ia dengan cepat meyambar kotak bekal yang berisi sarapan yang sudah disiapkan Arsa. "Enggak. Lupain aja."

"Sama... Jana?"

Asa yang sudah ada di ujung ruang keluarga reflek menoleh pada Arsa. "Kok... tau nama kakak kelas Asa sih?"

"Temen di kafe. Baik nggak ke kamu?"

Asa mengangkat bahu. "Sejauh ini sih, simbiosis mutualisme. Kalo gitu, Asa berangkat. One four three, Bang Arsa Ganteng."

fluorescent adolescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang