"Jangan kecapekan, Ai."
Naisha yang sedang fokus memandangi ovennya sontak menoleh ke arah sumber suara.
"Iya, Ma," ujar Naisha apa adanya, tetapi tetap memandangi oven, membuat ibunya pergi dari ruang makan, menyisakan Naisha dan Nakula yang sedang makan sambil menonton entah apa di ponselnya.
"Ci, nggak ada rasa suka gitu sama Adam?"
Pertanyaan dari Nakula membuat Naisha terbatuk-batuk. Cewek itu segera mengambil gelas berisi air dan menatap adiknya kesal. "Ngomong apa sih?"
Nakula sontak tertawa. Waktu pertama kali Nakula menyadari bahwa Adam bisa dipercaya untuk membantunya menjaga Naisha, Nakula tahu bahwa—mungkin, berdasarkan tebakannya—Adam menyukai kakak perempuannya itu, bahwa—mungkin—ada orang lain yang bisa membuat Naisha merasa bahagia meskipun hanya di dunia kecilnya.
"Batuk-batuk berarti iya dong?"
Naisha melempat sebuah serbet ke arah Nakula, membuat adiknya itu tertawa. "Apa sih, orang nanya."
"Adam temen Kala dari SMP tau."
"Masa iya?"
Naisha tahu Adam sejak MOS karena cowok itu cukup mencolok. Bukan mencolok seperti Nolan yang selalu menjawab setiap omongan yang keluar dari mulut kakak kelasnya, atau seperti Genta yang paling teladan, atau seperti Jana yang berhasil menarik seluruh perhatian, baik kakak OSIS maupun sesama murid baru, tetapi Adam lebih ke arah mencolok karena cowok itu adalah murid baru paling tinggi—Naisha menebak tingginya mungkin mencapai 185—dan yang paling diam-diam, tapi menghanyutkan. Cowok itu sering tampak tidak mendengarkan—lebih sering bermain dengan sebuah pensil yang diputar-putar setiap saat—tetapi selalu dapat menyelesaikan tugas dan menjawab pertanyaan jika ada kakak OSIS yang menangkapnya seolah Adam tidak menaruh perhatian. Dan, Naisha tahu sejak hari ketiga Masa Orientasi Siswa, dirinya menaruh sebuah rasa suka pada seorang Gibraltar Adam. Lalu, pada hari ke sembilan puluh sembilan ia tahu bahwa yang ia rasakan pada Adam bukan hanya suka, tetapi kagum.
"Iya, sering main ke rumah juga. Cici aja nggak pernah keluar kamar tiap temennya Kala dateng."
Naisha mencibir. "Ngapain juga keluar?"
"Ya... bagus dong kenal Adam lebih awal."
Naisha menjamin kalau ia terlalu banyak mendengar nama itu tidak baik. Yah, membuatnya sedikit banyak berharap kalau—mungkin saja—ia adalah Hawa-nya. Tetapi, tidakkah itu berarti Naisha terlalu tinggi menggantungkan harapannya? Mengenal Adam, dan selalu dibantu oleh cowok itu saja cukup membuat Naisha tidak percaya, sehingga tidak perlulah Naisha berharap sesuatu yang aneh-aneh seperti itu.
"Itu bikin bronis pesenannya siapa?" tanya Nakula. "Bener kata Mama jangan sampe kecapekan."
"Gita," ujar Naisha tanpa menjawab kalimat kedua Nakula.
KAMU SEDANG MEMBACA
fluorescent adolescent
Novela JuvenilKarena, setiap remaja, memiliki setiap rona-nya masing-masing. Tentang masa lalu, tentang cita-cita, tentang keinginan, tentang harapan dan berharap, dan, tentang cinta. ©2020