Meskipun Easterham hanya kota kecil terselip di perbatasan Sumatera Selatan, tetap saja hiruk-pikuknya tak kalah kencang dengan Jakarta atau kota besar lainnya. Obat utama penat arus kehidupan manusia? Tentu saja relaksasi ketenangan alam. Bukan melulu piknik atau jalan-jalan, sambil menikmati hobi pun tetap bisa—memancing misalnya.
Sebuah penginapan di ujung terluar Easterham menawarkan kenikmatan ini. Paket lengkap berupa penginapan super nyaman di tengah alunan alam, kolam ikan yang bebas dipancing sesuka hati, lengkap pula dengan restoran mewah khas bumbu rempah pedesaan. Menghabiskan akhir minggu di tempat ini jelas merupakan cita-cita mereka yang monoton menjalani hari, sebuah agenda yang diharapkan menyembuhkan hati agar siap menghadapi senin.
Bukan—tapi bukan itu tujuan kenapa Dolphy mengajak lima temannya datang. Memancing hanyalah tujuan palsu, sebuah alasan yang dipakai untuk menutupi fakta mengerikan: misteri opera berdarah akan berlanjut tepat di tempat mereka berada sekarang.
Jumat malam, kursi opera kembali muncul di atas panggung, menampakkan koordinat baru lokasi tempat pembunuhan akan terjadi: sebuah penginapan sekaligus restoran di seberang Panti Jompo Kembang Kamboja. Restoran ala pedesaan, asri letaknya di tepi sawah—akan menjadi saksi bisu kematian seseorang tepat di Sabtu malam.
Tentu Dolphy tidak menyimpan informasi ini untuk dirinya seorang saja, sang kapten tak lupa ia jadikan orang pertama kabar ini bermuara. Naufal menyambut agenda Dolphy dengan afirmasi cepat, tapi tujuan mereka jadi beda dengan semula: kalau kita tahu tempat kejadian perkara, kenapa tidak kita coba hentikan pembunuhannya? Jadilah mereka datang sejak siang, enam jam sebelum waktu yang diramalkan. Sementara Aji, Dj, Ilman dan Adyth bergembira dengan batang pancing dan kolam, Naufal dan Dolphy sibuk mengamati bangunan dengan dalih menikmati pemandangan. Sebisa mungkin, mereka ingin hanya mereka berdua saja yang tahu kalau pembunuhan akan terjadi sebentar lagi di tempat itu.
"Restoran di lantai satu, penginapan hanya ada di lantai dua, lalu—ini, kolam ikannya ada di sebelah selatan restoran. Timur berbatasan langsung dengan jalan raya, sementara utara dan barat hanya ada sawah luas yang baru selesai di bajak. Emmm—sebentar, untuk apa aku membuat ini tadi ya?" Dolphy mengetuk meja berulang kali dengan pena, kesal karena denah yang ia buat tidak membuahkan kesimpulan apa-apa. "Oh hampir saja aku lupa, ventilasi! Kita tidak boleh lupa dengan itu, Fal. Roni kan berhasil membunuh lewat celah ventilasi, siapa tahu pelaku yang sekarang juga punya cara yang sama, bukan? Ventilasi ya, hmmm ... di ruangan ini hanya ada satu, mepet dapur. Lalu—"
Naufal yang duduk tepat di depan, mencabut paksa pena itu dari genggaman Dolphy. "Aku paham resah yang kau rasakan, kawan, tapi kau tidak akan dapat apa-apa kalau gelisah macam itu," melirik sebentar ia ke arah jam tangan. "Sekarang pukul delapan, satu jam lagi dari waktu yang diperkirakan, betul?"
"Dan kita belum punya persiapan apapun!" tangan Dolphy mengangkat, diletakkan di atas kepala, sekuat tenaga kemudian menjenggut rambutnya yang kecoklatan. "Astaga—kalau begini terus, kita datang kemari hanya untuk melihat kematian lagi!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Opera Berdarah (Story Series of Six Elves)
Mystery / ThrillerKecintaan enam remaja pada gelapnya kasus kriminal pada akhirnya menimbulkan sebuah petaka: kutukan kematian. Terlalu congkak menerima tantangan dari si makhluk kematian, kini mereka tak kuasa hidup selain bergerak diiringi pengetahuan akan letak da...