Perangkap Psikologis

410 109 13
                                    


"Korban bernama Sugianto Wijaya, 29 tahun, seorang pegawai swasta—ditemukan tewas pukul sembilan, terjatuh mayatnya dari kamar penginapan lantai dua ke dalam kolam ikan. Terdapat tiga luka tusuk di bagian dada, juga sayatan benda tajam di bagian leher yang menyebabkan kepala korban terpisah dari badan. Tubuhnya terlilit senar pancing berwarna hitam, kail tertanam di bagian leher. Senjata pembunuhan sampai saat ini belum ditemukan, penyisiran masih akan berlanjut hingga tiga hari ke depan. Kemudian saya akan bacakan urutan kejadian yang didapat dari saksi mata: pukul enam sore, korban ...."

"Kalian tahu—heran aku malam ini bukan lagi pada kasusnya, tapi justru pada kalian!" ujar Anwar berusaha mengalihkan fokus enam sekawan yang sedang khidmat mendengar. "Cokelat hangat dalam termos, syal tebal musim dingin—kalau sedari awal niat hanya menginap, kenapa bisa punya rencana persiapan demikian lengkap?"

"Daripada rencana, aku lebih senang menyebutnya sebagai strategi, Pak," koreksi Dolphy setelah hangat kerongkongannya oleh minuman cokelat. "Inilah yang terjadi kalau kau satu-satunya orang yang punya kekhawatiran atas tingkah gila yang mungkin akan dilakukan oleh lima temanmu. Jangankan cokelat dan syal, periksalah koperku di kamar! Kau akan sadar kalau aku bahkan membawa hal-hal bodoh macam popok dan sapu lidi."

Six Elves kini sedang duduk di meja paling ujung bersama sang Kasatreskrim. Meski statusnya sama-sama saksi mata, perlakuan terhadap mereka nampak betul lebih istimewa dibandingkan terhadap Samuel, Daka, dan dua orang pegawai yang bergantian diinterogasi intens seolah tersangka.

"Apa yang sudah kalian dapat sejauh ini?"

"Aku dan Aji langsung lari ke jalur yang kami anggap dipakai pelaku untuk kabur—nihil, kami tidak menemukan apapun."

"Padahal hanya selisih setengah menit!" Aji menambahkan kalimat Ilman. Semangat betul ia bicara, gelas yang digenggam sampai berderit menggesek meja. "Kalau pelaku mendorong tubuh korban dari dalam kamar, ia butuh setidaknya sepuluh sampai lima belas detik untuk sampai pintu depan. Dengan selisih waktu yang makin kecil, harusnya Ilman berhasil menyusul, atau setidaknya terlihat oleh aku. Kanan dan kiri tempat ini kan hanya jalan aspal lurus, mataku masih melihat jelas meskipun hujan mengguyur deras."

"Ah, mungkinkah hantu yang jadi pelakunya? Hantu kan bisa menghilang atau terbang."

"Oh, ayolah, Pak. Hantu? Sebatas itukah kemampuan analisamu sebagai seorang Kasatreskrim? Anak kecil pun akan lebih baik nalarnya daripada kau."

Bukan amarah, hinaan Dj malah dibalas tawa kencang oleh Anwar. "Memangnya kalian sendiri punya kesimpulan apa?"

"Meskipun mustahil, kita tetap harus menerima fakta kalau korban dijatuhkan ke dalam kolam dan pelaku berhasil menghilang tak terkejar. Betul, memang tidak masuk akal—itulah kenapa kita harus melihat dari sisi yang berbeda. Logikanya kan kalau pelaku mendorong korban ke dalam kolam, harusnya dia terkejar atau minimal jejaknya akan tertinggal; karena ini bukan demikian, bagaimana kalau sejak awal pelaku tidak berada di dalam kamar?" sukses sudah sang kapten mengunci fokus semua yang ada di meja. "Aku menemukan reel pancing elektrik tergantung kokoh di sisi lemari baju, masih menyala—tanpa senar. Lalu, fakta bahwa ada senar melilit tubuh korban—tidak bisa kita sebut kebetulan, bukan? Tentu saja ini cara pelaku untuk melemparkan tubuh korban ke dalam kolam, tanpa harus hadir langsung di TKP!"

"Oh, maksudmu—pelaku mengulur senar perlahan sampai habis sehingga korban jatuh ke dalam kolam?"

"Jenius! Masuk akal!" Aji memekik seolah dia yang memecahkan trik.

"Kau mengkhayal terlalu jauh, Nak. Senar pancing itu kan panjangnya 250 meter lebih! Kalau diulur sampai korban terjatuh, pastilah masih menyisakan senar di gulungan reel—tinggi jendela ke permukaan kolam kan hanya tiga atau empat meter. Lagi pula, senar hanya kuat menahan beban—yah, lima belas atau dua puluh kilo, mungkin? Begitu tubuh korban menggantung, senar akan langsung putus!"

"Sayangnya, Pak, khayalanku masih sesuai kaidah ilmiah. Kalau kau khawatir dengan panjang senar, kau bisa minta anak buahmu mengukur manual; panjangnya paling hanya sepuluh atau dua puluh meter saja! Ini reel elektrik, Pak, tinggal ulur sampai habis, potong sesuai panjang yang kau butuhkan, lalu gulung ulang dengan teknologi. Kerja begini hitungan detik pun selesai! Kalau masalah senar yang putus—ah, pinjam gelasmu, Man! Masih banyak kan isinya? Tentu, kawan, tentu saja aku tahu. Kau kan tidak suka minuman manis," Naufal meletakkan gelas Ilman yang masih setengah penuh ke tengah meja. "Coba kau perhatikan ini! Ini materi fisika anak SMA, baru saja kami pelajari ulang kemarin pagi."

Ia lantas ikat gelas itu dengan benang yang baru dikeluarkan dari saku jaket, digiringnya sampai batas ujung meja.

"Apa yang akan terjadi kalau gelas ini aku dorong?"

"Jatuh, tentu saja."

"Betul! Dia akan langsung jatuh meluncur; tapi lain cerita kalau aku tahan benangnya seperti ini," ditahan oleh si Naufal benang yang mengulur di atas meja dengan kepalan tangan. "Ah, susah juga kalau aku lakukan sendiri. Coba bantu aku, Dyth! Biar hilang juga ngantuk kau itu! Ini—coba kau jatuhkan gelasnya sesuai aba-aba aku ya! Jatuhkan tegak lurus ke lantai, tapi tetap mepet ke meja. Siap ya—satu ... dua .... tiga!"

Begitu dijatuhkan Adyth, alih-alih langsung menghujam ke bawah, gelasnya malah turun perlahan seperti lift dengan kecepatan konstan. Setelah sempurna menyentuh lantai, dipungut gelas itu untuk kemudian kembali diberikan kepada Ilman. "Inilah yang persis dilakukan oleh pelaku. Dia melilitkan senar pancing ke tubuh korban, mengulurkan perlahan tubuh malang itu sampai tepat hendak jatuh lewat jendela kamar. Setelah senarnya tegang dan mengulur, reel elektriknya dihidupkan dalam mode menggulung kecepatan rendah, menahan tubuh korban agar tidak langsung jatuh. Teknologi ini ibarat genggaman tanganku yang tadi menahan berat gelas agar jatuh dengan lambat—dan benangnya tidak akan putus karena panjangnya terus berubah tiap satuan waktu. Ah, astaga—dengan begini pun sudah ketahuan kan siapa pelakunya?"

"Background checking," sambut Dolphy agar Anwar tak terlalu lama kebingungan. "Lewat data yang ada di internet, aku sudah periksa satu persatu identitas korban dan semua terduga pelaku. Kedua pegawai restoran itu sama sekali tidak mengenal korban, beda circle; dari segi motif, hampir mustahil mereka yang melakukan pembunuhan. Tersisalah dua temannya itu, dan kalau analisa Naufal tepat, pelakunya adalah—"

PROK!

Keras sekali Naufal menepuk tangan, seolah sedang menghajar nyamuk yang mengganggu ketenangan. Sengaja tentu, tapi malah tertawa dia ketika yang lain menatap kesal karena urung mendapatkan kesimpulan jawaban.

"Kurang seru kalau kau ucap begitu saja, kawan. Aku punya cara yang lebih baik."

Dipanggilnya dua orang pegawai penginapan yang sudah selesai diinterogasi untuk duduk bersama mereka. Satu-dua kalimat terucap, Ilman dan Adyth yang sedang minum malah tersedak. Melotot mata mereka karena terkejut dengan apa yang Naufal katakan, sementara sang kapten hanya tertawa kecil seolah tengah melemparkan lelucon yang sama sekali tidak jenaka. Anwar yang linglung harus bingung atau kagum, hanya mengangguk sebagai tanda bahwa izin telah diberikan; kalau pun ditanya kenapa begitu percaya penyelidikan dipimpin anak SMA—pastilah kepala menggeleng saja yang ditunjukkan.

Meja makan diketuk tiga kali dengan cepat, seolah isyarat dari Naufal agar lelucon dia segera dikerjakan. Dua orang pegawai penginapan beranjak juga meskipun sebetulnya masih heran. Adyth, Ilman, Aji berjalan keluar dari restoran menuju pintu depan, disusul Dj dengan seringai lebar seolah ia akan melakukan hal yang betul-betul menyenangkan.



Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Opera Berdarah (Story Series of Six Elves)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang