Enggan betul pagi itu matahari bersinar, kalah rajin dengan awan hitam yang sedari tengah malam mengambil alih bentukan cuaca. Sepoi angin tak lagi dingin—membeku malah; kau takkan bisa beraktivitas tanpa jaket atau syal tebal. Bentuk begini enak betul kalau dipakai bersantai depan televisi, menghirup teh hangat lengkap dengan biskuit coklat. Ah, sayang dunia ini tidak bisa dikesampingkan hanya karena turun hujan. Sekolah, misalnya, mana mungkin meliburkan siswa hanya karena cuaca sedang cocok untuk minum teh.
Itulah jawaban Naufal kepada Ilman yang terus bertanya kenapa ia giat betul mengerjakan PR Matematika.
"..., tapi kan kau bisa mencontoh jawabanku!"
"Oh, aku tidak suka matematika, Man. Itulah kenapa aku harus kerjakan sendiri sampai tuntas," jawab Naufal dengan tersenyum. "Kalau kau bosan, carilah kesibukanmu sendiri, Man. Hujan deras begini—guru tidak akan mungkin masuk sampai jam istirahat."
Mendengus kesal Ilman karena terbaca isi hatinya. Berpaling ia pada seisi kelas, hanya untuk mendapati hampir semua orang sedang duduk diam sambil mendengarkan musik lewat ponsel. Di bangku belakang, Aji dan Dj sibuk memperdebatkan kenapa Valentino Rossi bisa terjatuh di sirkuit Assen semalam. Adyth yang satu meja dengan Naufal, sudah tertidur di menit-menit awal bel sekolah berbunyi. Lain halnya dengan Dolphy; ia tengah berkutat melawan laptop canggihnya. Menekuk wajah seperti ditimpa masalah besar, kemudian sesekali menyeruput teh hangat dalam gelas kaca, dan biskuit cokelat sebagai penambah cita rasa.
"Beli di mana? Aku minta satu ya!" Ilman iseng mencomot satu biskuit untuk ikut mengunyah.
"Biskuit ini? Kau harusnya tahu kalau aku punya dua kardus di lemari dapur, Man. Makan-makan sajalah, aku sedang fokus ini—jangan ganggu!"
Jawaban sinis itu langsung membuat Ilman ciut.
"Ayo ikut aku ke kantin, Man," ditepuk sekali pundak Ilman oleh Naufal. Begitu keluar dari kelas, kembali Naufal bicara. "Biasanya kau saingan dengan Aji urusan keceriaan. Kenapa hari ini berbeda?"
Kepala Ilman terangkat, menatap hujan sambil berjalan sebagai bentuk penat hati yang ia rasakan. "Jenuh—mungkin? Tidak ada lagi kasus yang muncul, apa mungkin kutukan itu sudah musnah?"
Jelas tertawa Naufal. Padahal anak ini yang biasanya ketakutan menghadapi kasus. "Kau itu anak SMA, Man. Tugasmu itu belajar, bukan menangkap penjahat," Melihat Ilman yang tidak puas dengan jawaban itu, cepat-cepat Naufal melanjutkan. "Ah, tapi kalau kau sebegitu hausnya dengan kasus, di sekitar kita juga banyak! Nih, semua murid di sekolah kita ini pasti punya kasus atau masalah, tentang kekasih mereka, keluarga, nilai, apapun itu. Kita sebut saja sebagai masalah tertutup, masalah yang orang-orang sembunyikan dari umum."
"Dan bagaimana cara kau mengetahui masalah-masalah itu?"
Naufal menahan dulu jawabannya, berkonsentrasi penuh pada tapak kaki yang hati-hati betul menuruni tangga kantin agar tidak jatuh terpeleset. "Analisa psikologis, tentu—oh, halo Bu Thapen! Aku pesan jus stroberi ekstra susu. Kau pesan apa, Man?"
"Indomie rebus satu," jawab Ilman cepat. "Eh, memangnya analisa psikologis itu berguna untuk kasus betulan? Mengungkap pembunuhan, mencari orang hilang—hanya dengan membaca wajah mana bisa terbongkar, bukan?"
"Oh, kawan, ini ilmu yang luar biasa! Jauh lebih hebat dari sekedar membaca wajah."
"Lalu, bagaimana cara agar aku punya kemampuan analisa psikologis itu? Aku kan tidak secerdas kau."
Perhatian Naufal lepas dari Ilman, berpindah pada tiga orang siswi perempuan yang sedang melotot penuh amarah pada seorang lagi yang tersudut di dinding ujung kantin.
"Perundungan, Fal. Makin hari makin banyak saja memang di sekolah kita. Bukan hanya diam-diam seperti itu, bahkan terbuka seperti saat kampanye pemilihan ketua OSIS yang pernah aku ceritakan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Opera Berdarah (Story Series of Six Elves)
Mystery / ThrillerKecintaan enam remaja pada gelapnya kasus kriminal pada akhirnya menimbulkan sebuah petaka: kutukan kematian. Terlalu congkak menerima tantangan dari si makhluk kematian, kini mereka tak kuasa hidup selain bergerak diiringi pengetahuan akan letak da...