Case Closed - Peringatan Sang Kematian

397 106 12
                                    

"Tidak bisakah kita hajar dulu sebelum dibawa ke kantor, Dyth?"

"Bisa, kalau kau juga mau ikut masuk penjara."

Mehh—kesal betul hati Dj malam itu. Saat Naufal meminta ia dan Adyth menjemput pelaku, dipikirnya akan ada baku hantam dan pertikaian. Kalau cuma maaf anda sekarang kami tangkap, malas betul Dj ikut-ikutan. Mending duduk saja di restoran, melihat aksi Naufal melakukan analisa sambil makan ikan, atau ikut Ilman pura-pura bertamu ke panti jompo yang penuh dengan penganan.

"Sepertinya akan turun hujan. Hoaahmm—aku jadi mengantuk," gumam Adyth dengan mata yang mulai berair. Ia dan Dj tengah memegangi pundak Edi, menunggu Andre mengambil mobil yang diparkir jauh di luar terminal.

Cuaca makin mendung, dan terminal sepi bukan tempat yang tepat untuk menikmati suasana demikian. Perlahan mulai tercium bau busuk sampah terbawa angin bercampur debu yang terbang mengikis mata. Ah, sungguh suasana yang benar-benar membuat manusia ingin segera lari masuk ke dalam rumah.

Lama kelamaan, menggigil juga tubuh mereka—dingin rasanya dari kepala sampai tengkuk. Bukan hanya Dj dan Adyth, Edi pun merasakan hal yang sama. Seolah mereka hendak akan dibekukan; seolah ada sesuatu yang memang meniupkan semilir angin dingin.

"Tidak bisakah kita cepat pergi dari sini? A-aku agak merinding."

"Kau itu sebentar lagi akan membusuk di penjara seorang diri. Nikmatilah sedikit waktu bebas begi—oh, shit!"

Gendang telinga mereka berasa seperti digesek keras dengan batu akibat mendengar suara gesekan kencang batang besi dengan dinding bangunan yang begitu menusuk tajam. Datangnya dari depan mereka, di antara ruko-ruko dengan lampu temaram itu. Tidak ada bunyi lain selain gesekan ngilu; tidak ada langkah, tidak pula cakap bicara.

"Kau jaga dia sebentar, Dyth! Aku mau hajar orang brengsek itu!"

"J! Hey! Kita tidak boleh menambah masalah, ingat?! Kita pergi bersama polisi!"

Percuma—kalau datangnya bukan dari Naufal, mana mau Dj mendengar nasehat. Lari ia menuju barisan ruko kosong tempat suara tadi berasal sambil mendengus kesal.

"Malam-malam begini kok mengasah pisau, di dinding toko pula! Awas saja kalau ketemu, biar aku asah ke gigi dia sekalian!"

Namun, begitu sampai ke tempat yang dimaksud, tidak ada apapun yang terlihat mata kecuali ubin dan bekas jelaga. Koridornya kosong, perlahan disusur oleh Dj sambil celingak-celinguk mencari-cari. Berbelok anak ini ke kiri, ke bagian belakang ruko yang gelap pekat tanpa cahaya. Masuk saja dia ke sana tanpa memikirkan celaka.

Hampir sampai ujung, Dj malah mundur dua langkah ke belakang. Salah satu dinding ruko menampilkan poster yang menarik perhatian dia: sebuah gambar realis makhluk kematian lengkap dengan sabit besar. Makhluk itu digambarkan dengan amat seram, berupa tengkorak tanpa daging, berbalut kain kafan hitam bernoda tanah, seolah ia seorang mayat yang baru kemarin bangkit dari mati. Lama Dj menatap poster itu, heran ia karena merasa yang dilihatnya bukan bentuk hasil karya tangan, malah seperti makhluk kematian betulan.

Sebuah sepeda motor lewat di depan ruko, cahaya lampunya memantul sebentar ke arah Dj yang kini sadar akan sesuatu: poster itu juga menampakkan gambaran dirinya. Bukan, itu bukan poster, tapi sebuah cermin besar, memantulkan gambar dia dan makhluk kematian yang sedang berdiri tepat di bagian belakang tubuhnya.

Otaknya memaksa ingin menoleh, ingin melompat menghajar dia yang memberikan teror aneh pada enam sekawan, tapi tubuh Dj sekarang keras kaku macam papan. Keringat dingin membasahi badan, menggerakkan pandangan pun tidak bisa. Ia hanya bisa menatap ke depan, ke arah tengkorak berbalut kafan hitam yang tengah menyodorkan sabit tajam ke lehernya.

"Tak kusangka kalian bisa demikian jauh melawan nalar logika; memecahkan teka teki kematian seperti sedang menghitung aritmatika."

Dj menggigit bibir kuat-kuat, berusaha melawan tubuhnya agar cepat sadar dan bergerak.

"Namun, manusia tetap punya batasan. Orang baik macam kalian perlu juga diberi peringatan. Ingat, sampaikan pada angkuhnya sifat dalam dada: kasus selanjutnya akan jadi ajang pertaruhan nyawa—termasuk nyawa kalian yang terkena kutukan. Lengah satu jari, dan kita akan bertemu di alam yang tertinggi."

"Woy, J! Sedang apa kau?!"

Menoleh cepat Dj kepada Adyth yang berdiri di depan ruko. Temannya itu sedang berdiri dengan heran, menatap ia yang basah seolah habis diguyur hujan. Menoleh perlahan Dj ke arah punggungnya tadi menghadap. Tidak ada, makhluk kematian yang tadi mengajaknya bicara mendadak hilang begitu saja.



Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Opera Berdarah (Story Series of Six Elves)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang