Halaman rumah milik Bapak Kurniawan yang biasanya penuh dengan pot-pot kembang milik sang istri, sekarang berubah menjadi kursi-kursi yang ditata rapi berjajar menghadap ke arah rumah. Suasana putih dengan aksen biru terasa sangat kental, hanya sebuah bleketepe dan janur kuning yang ada di depan teras menjadi satu-satunya warna kuning-kehijauan yang menyala.
Sebuah tempat yang sangat indah untuk hari yang bersejarah bagi mereka berdua.
"Bismillahirrohmanirrohim,"
Suara Kurniawan dari sebuah televisi yang ada di kamar mempelai wanita terdengar begitu khidmat. Dengan perasaan yang campur aduk, Artha hanya menundukkan kepala, mendengarkan suara sang papa dengan terus memegang erat tangan mama untuk menetralkan perasaannya.
"Saya terima nikah dan kawinnya Artha Pramudita Prameswari binti Kurniawan Santosa dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
Alhamdulillah.
"Alhamdulillah, Tha. Sekarang kamu jadi istri." ucap Diah dengan sebuah pelukan erat yang ia berikan kepada sang putri. "Sudah jadi istri, sudah punya imam sendiri dan yang terpenting sudah memulai semuanya sendiri. Papa sama Mama hanya bisa mendukung dari belakang ya, Nduk."
Artha mengangguk mendengar wejangan dari sang mama, menjadi anak perempuan satu-satunya, Artha adalah anak kesayangan bagi keluarga Kurniawan dan Diah.
"Ya udah, yuk kita keluar."
Artha dengan malu melangkah keluar dari kamarnya, untuk menemui sang suami. Sampai di meja akad, dengan pelan Azka menarik tangan Artha untuk duduk di sampingnya melanjutkan prosesi berikutnya. Penyematan cincin dan menandatangani dokumen.
"Kamu cantik, Tha." Bisikan halus dari Azka hanya dibalas senyum simpul oleh Artha. Ya terang saja, kalau mau dibalas dengan pukulan atau cubitan di lengan, seperti yang biasanya, tentu cunduk mentul yang dia pakai bisa saja jatuh. Artha tidak mau merusak momen cantiknya ini.
Azka menatap sang istri yang sekarang ini tersenyum kepadanya. Segala pake malu sih, Ta.
Dengan sangat lembut Azka memasangkan cincin ke jari manis Artha. Cincin pilihan sang istri. Azka masih ingat ketika mereka membeli cincin ini, telah memakan waktu berjam-jam dan keluar masuk dari satu toko ke toko yang lain. Dan pada akhirnya, dipilihlah cincin ini yang merupakan cincin dari toko yang pertama kali mereka kunjungi. Gantian Artha yang memasangkan cincin kepada imamnya itu. Tangan Azka yang sekarang dia bawa ke dahinya sebagai tanda bahwa Artha adalah seorang istri, yang akan selalu ada untuk sang suami. Kasih, cinta dan sayang akan dia berikan hanya untuk Azka.
Perlahan Azka menangkup wajah sang istri. "Ini kalau aku cium di kening, bibir aku jadi item ya, Tha?"
Seketika suasana yang tadi haru berubah menjadi canda karena Azka. "Ka!"
Plototan dari sang Kakak membuat Azka tersenyum tanpa dosa. "Hehe, ya habis mau cium di bibir takut rusak lipstiknya. Nanti Artha marah."
Niar hanya geleng-geleng mendengar ucapan sang adik. Malu rasanya punya saudara begitu, bahkan tanpa dosa berucap di depan mertuanya sendiri. Kalau-kalau Azka lupa, mertuanya masih di samping penghulu. Setelah bercanda sesaat, akhirnya Azka mencium kening sang istri dengan mantap. Sangat pelan sekali membisikkan kalimat yang hanya bisa didengar oleh Allah dan Artha.
"Alhamdulillah, akhirnya aku dan kamu jadi satu, Tha. Mulai tadi aku ijab qobul. Aku adalah imam kamu, kamu adalah makmumku. Dan seterusnya kita adalah keluarga." Azka menjeda kalimatnya sebentar, menjauhkan bibirnya dari kening Artha dan membawa wajah Artha ke hadapannya untuk dilihat lebih lekat. "Aku cinta kamu, Artha."

KAMU SEDANG MEMBACA
Pillow Talk | Pindah Starrywriting
Romansa••• Chapter telah dihapus sebagian ••• Seluruh cerita lengkap bisa dibaca di Starrywriting. Terima kasih♥️ Azka dan Artha telah menikah. Kehidupan rumah tangga mereka telah dimulai. Tentunya tidak akan sama mudahnya seperti saat mereka masih berpaca...