Pada dongeng berhalaman tipis. Aku membuka lembar kertas yang semula putih berubah warna jadi menguning, waktu telah menghapus warnanya. Kuharap mataku tak sembab lagi saat membuka di bab kedua ini.
Aku bersembunyi ke dalam lemari persegi panjang satu-satunya penerang senter kecil yang lampunya berwarna putih, yang tadi sore ku beli dengan harga sepuluh ribu.
Aku menghela napas panjang, dan mulai membaca kata pertama.
Aku duduk di barisan penonton, ingin sekali duduk paling belakang tapi keadaan memaksaku untuk duduk di baris terdepan. Aku menghela napas dengan wajah suram namun orang-orang akan mengiraku memasang wajah dingin.
Nama kakak dan adikku di sebut di mimbar besar dengan bangga. "Selamat atas juara dan medali emasnya. Kalian berdua kakak beradik yang sangat berbakat, beruntung sekali orang tua kalian melahirkan kalian berdua."
Aku tersenyum kecut saat orang lain samping kiri kanan depan belakangku mulai membicarakan kehebatan kakak dan adikku. Saat semua orang bertepuk tangan riuh untuk mereka berdua, hanya aku yang tak bertepuk tangan.
Ayahku ada di dekat mimbar memotret momen kebahagiaan itu tak lupa dengan senyum lebarnya. Sesekali menyapa orang yang di kenalnya sekalian mempromosikan dua anak emasnya kepada orang yang ia sapa. Aku menunduk dalam. Jari jemariku bertaut menggenggam takut, gemetar ringan, hatiku berdesir.
"Malam ini mau makan apa?" tanya ayahku hangat. Aku mendongak. Sedetik kemudian menunduk lagi, karena pertanyaan itu bukan ditujukkan untuk aku tapi pada dua anak emasnya yang sedang memegang piala tertinggi dengan di lehernya mengalung kalung medali emas.
"Nasi kuning!" seru kakaku.
"Ayam geprek!" seru adikku.
"Ok, kita beli nasi kuning sama dua bungkus ayam geprek." Putus final ayahku.
"Hei, selamat yaa duh borong medali emas lagi nih anaknya." Suara khas perempuan bersuami menyapa dan menjabat tangan ayahku dengan hangat.
"Eh, terima kasih. Anak kamu juga kan?" kata ayahku balik. Melepas jabat tangan.
"Iyaa, tapi tak sehebat anak-anak kamu ini."
Ayahku tertawa ringan menanggapinya. Aku berani bertaruh dalam hati ayah begitu bangga dan berbunga-bunga sekarang.
Aku bangkit berdiri. Muak dengan percakapan itu. Muak juga dengan wajah si ibu bermuka make up tebal ini, tidak muak saja mungkin sekarang aku sudah ada di fase membencinya. Sangat. Jika saja membunuh adalah kebaikan, mungkin sudah lama wajah perempuan yang penuh dengan campuran bahan kimia itu jadi target utama dalam list pembunuhanku.
"Aku keluar," pamitku singkat.
Dengan langkah pelan aku masih mendengar percakapan dua orang tua itu.
"Itu anak kamu yang perempuan kan? Dia juara berapa?"
"Ah dia belum masuk juara. Mungkin karena jam terbangnya kurang. Nanti bakal ada pertandingan berikutnya, dia pasti bisa membalas kekalahannya."
Pasang muka lugu aja terus sampai mampus. Emang gak denger apa nama aku gak di sebut di deretan juara. Dasar caper. Umpatku dalam hati.
Setelah itu aku tidak lagi mendengar percakapan para orang tua itu. Aku juga tak pernah tertarik untuk mendengar.
Aku menjauhkan diri dari keramaian, menatap langit yang mulai menggelap bukan karena ingin hujan tapi karena hampir malam.
•Pertandingan-Kekalahan-Di lupakan•
Jika boleh jujur. Aku tertekan sekali dengan kata pertandingan. Karena aku tahu pertandingan sama dengan kesedihan karena di dalamnya aku sudah tahu endingnya kekalahan. Meski kalah, ayahku tetap menganggap aku berbakat, yaa mungkin itu semacam kalimat penenang dan obat agar aku terus berjuang biar aku bisa menjadi anak yang juga membanggakan seperti kakak dan adikku. Tapi seakan di gariskan aku adalah kesialan diantara keberuntungan. Aku selalu mengecewakan.
Dari kecil aku tak mengerti cara kerja takdir. Aku lahir dan tumbuh di keluarga yang sumber utama penghasilan uangnya ada di bidang olahraga catur. Anak emas mereka adalah kakak dan adikku. Aku anak kedua sebut saja sebagai anak tengah atau anak perak.
Kakak dan adikku bisa jadi juara. Dan mungkin itu adalah alasan utama kenapa mereka berdua diperlakukan sangat istimewa. Aku si anak tengah yang hanya bernilai perak. Aku selalu gagal dalam urusan membanggakan. Aku selalu kalah dalam urusan juara. Aku juga selalu bodoh dalam urusan pintar. Aku gak ada apa-apanya di mata orang tuaku jika di sandingkan oleh kakak dan adikku.
• Wajar • Wajar • Wajar •
Wajar lah bila aku di lupakan sementara jika dalam posisi seperti ini. Selayaknya seperti mainan. Aku ini hanya mainan berkarat yang sudah seharusnya di buang hanya saja aku di rawat oleh tuan yang punya sifat pelit jadilah aku tetap di pajang meski tak dilihat, sedangkan kakak dan adikku selalu jadi mainan baru yang nilai karatnya hanya takdir yang tahu.
• Sadar • Sadar • Sadar •
"Namanya juga manusia. Lebih melihat emas daripada perak." Kataku sambil Memyeka air mata, "hujan mulu. Aku capek!"
🌛🌛🌛
Setelah ritual makan dan cuci puring. Aku berjalan ringan ke dalam kamar mengurung diri mulai menarik selimut melakukan posisi tidur yang membelakangi pintu kamar. Alasan sederhana agar orang rumah tidak melihat aku berbohong dan tetap mengira aku sudah tertidur. Apalagi yang kulakukan setelah melalui hari yang melelahkan? Ritual terakhir sebelum tidur. Menangis.
Menangisi banyak hal. Aku seperti seorang pecundang besar.
Ingatan saat datang kerumah sampai selesai cuci piring. Masih terpatri dengan jelas di memori otakku yang pelupa.
Kata-katanya begitu menusuk tajam. Jujurnya membuatku bungkam dan tertampar.
Mamaku berkata diawali dengan menyebut namaku dengan panggilan khasnya sendiri yang bila di dengar semakin jelek saja namaku, "dia dapat juara berapa?"
"Gak masuk. Padahal kalau di babak terakhir tadi dia menang dia bisa juara." Lalu pandangan ayah ke arahku, "ingat gak, seharusnya kamu gak perlu majukan pion mu yang di H. Biar akan aja dulu nunggu sementara sampai si musuh melakukan kesalahan. Padahal kalau kamu mau bersabar lama lagi, itu lawan kamu pasti akan melalukan kesalahan sendiri. Yakan?"
Aku mendengar dengan jelas lalu mengangguk singkat sebagai jawaban.
"Gapapa ntar kita analisa bareng-bareng." kata ayah penuh dengan isi yang menjanjikan.
Aku mengangguk kecil lagi. Padahal kuyakin sekali kalimat itu gak akan pernah terealisasikan dengan semestinya. Ucapan manusia emang tak pernah bisa di pegangkan? Sama saat seorang manusia berkata : aku mencintaimu. Kalimat itu hanya omong kosong. Cinta? Sampai di detik ini aku tidak tahu maksud arti dari cinta itu sebenarnya apa. Cinta bagiku semacam ajaran sesat yang mengotori pikiran manusia. Seburuk itu kepercayaanku terhadap cinta. Kata orang kita tak bisa hidup tanpa cinta. Buktinya aku masih bisa hidup walau tanpa cinta yang memuakkan itu.
"Heh, gak bisa juara terus. Selalu aja kalah. Gimana sih kok gak bisa kayak kakak sama adik kamu ini," kata mamaku begitu jujur, lalu mata keibuannya beralih menatap dua anak emasnya, "duit hasil juara kalian mama simpan yaa. Kalau mau beli sesuatu bilang aja sama mama." kata itu di akhirinya dengan senyum tulus yang menenangkan.
Pertanyaannya : manusia mana yang senang dapat predikat kalah?
🌛🌛🌛
26.07.20
Pukul : 00.00
KAMU SEDANG MEMBACA
Dongeng 00.00
Short StorySangat sadar aku membenci cinta. Aku tak mempercayainya. Cinta bagiku semacam ajaran sesat yang mengotori pikiran manusia. Sedari kecil aku sudah di kelilingi keabuan. Terkurung dalam sebuah cangkang nyaris tak punya teman. Untuk tersenyum seperti...