"KENAPA!!!" teriakku di oktaf suara yang paling tinggi, napasku memburu mataku mengabsen satu persatu wajah anggota keluargaku yang terkejut akan teriakkanku tadi, "kenapa hanya aku yang punya nama jelek. Nama kakak dan adik sangat bagus. Seakan saat kaka dan adik aku lahir kalian memberikan nama kepada mereka dengan hati dan ikhlas, sedang saat kalian melihat wajahku pertama kali, kalian menamai aku dengan setengah hati tak ingin."
Sore ini, kuputuskan untuk tidak lagi menahan diri. Aku ingin nengakui kebohonganku. Aku hanya ingin menyelamatkan diriku sendiri. Aku akan memperjelas pada mereka bahwa : Aku milikku bukan milik orang lain.
"Itu... Itu bukan kah sudah pernah mama bilang kalau...." ucap mama terputus begitu saja.
"Kalau saat itu keadaan ekonomi kita sedang buruk, dan orang-orang mengata-ngatai tidak pantas kalau aku punya nama yang bagus seperti nama anak orang kaya. Jadilah kalian menamai aku dengan nama yang sangat jelek. Lalu bagaimana keadaan ekonomi kalian saat ingin menamai kakak dan adik, apa kalian mendegarkan omongan orang-orang?" tanyaku. Terisak pelan. Aku menggelengkan kepalaku, "kalian tidak mendengarkannya."
"Bahkan dari aku baru saja di lahirkan kalian sudah memperlakukan beda. Aku salah apa sama kalian hah?"
Ku terkekeh kecil, saat semua anggota keluarga terdiam tak punya balasan yang tepat untuk menyangkal semuanya.
"Aku tahu aku hanya perak gak seperti kakak dan adik mereka berdua sebuah emas. Bukankah sudah sewajarnya nafsu manusia lebih melirik emas daripada perak."
"Apa yang kamu katakan hah? Ayah gak pernah memperlakukan kalian berbeda. Sebisa mungkin ayah mama berlaku adil pada kalian." kata ayah.
Aku tersenyum tipis, "aku kuliah di pembayaran spp yang murah sedangkan kakak di pembayaran spp yang mahal, adik sekali minta langsung di kasih, aku yang minta sudah lama sampai sekarang gak di kasih. Itu apa? Kalau bukan membeda-bedakan hah? Dari kecil kalian gak pernah adil sama aku. Kalian hanya melihat kakak yang terlihat berharga dan memanjakan adik yang terlihat seperti permata yang tak boleh hilang."
Ku dengar ayah menghela napas yang sangat panjang, mungkin didalam tarikan napasnya ayah sedang merancang sebuah kalimat. "Baiklah kalau kamu mengupamakannya seperti itu. Kalau begitu, kalau kamu mau juga dijadikan emas oleh ayah dan mama, berlatih catur dengan sungguh-sungguh bukan hanya semangat di awal-awal aja. Bisa?"
Aku menyimpan jawaban tidak dalam hati. Aku memilih diam.
"Menulis gak menghasilkan duit. Menulis gak bisa buat kamu hidup. Berapa banyak waktu kamu terbuang dari menulis tulisan yang tidak akan merubah apa-apa itu hah?" mungkin ini adalah pertanyaan ayah yang selama ini ai pendam.
Ketahuilah meski wajahku tetap memasang ekspresi diam, hatiku sudah lama bergemuruh menurunkan hujan.
Dan catur membuatku mati perlahan. Jeritku dalam hati.
"Sudah sering, bahkan berulang kali, ayah minta agar kamu berlatih catur. Latihan. Supaya bisa juara seperti kakak dan adik kamu. Setidaknya sekali sehari aja, kamu main catur. Biar kamu gantiin posisi musuh kamu itu, biar kamu yang berdiri di podium nomor satu megang piala dan medali. Buat ayah bangga."
Gimana aku bisa hebat seperti dua anak kebanggaanmu itu? Kalau aku aja gak pernah ayah lihat. Ayah terlalu sibuk memperhatikan kakak dan adik. Lagian aku sudah terlanjur di cap sebagai anak tak berguna. Ucapku hanya sampai di hati.
"Kalian sudah punya kakak dan adik yang berguna, kalau hanya aku saja yang gak berguna di mata kalian, bukan suatu masalah kan? Kalian gak akan rugi 2:1." Kataku akhirnya. Setelah lama hanya diam saja selama ini. Kali ini aku akan melawan demi mentalku. Demi nenyelamatkan diriku sendiri agar tidak jadi gila.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dongeng 00.00
Short StorySangat sadar aku membenci cinta. Aku tak mempercayainya. Cinta bagiku semacam ajaran sesat yang mengotori pikiran manusia. Sedari kecil aku sudah di kelilingi keabuan. Terkurung dalam sebuah cangkang nyaris tak punya teman. Untuk tersenyum seperti...