Dia masih berada di lingkaran setan. Dia masih terkurung, semacam sekuat apapun dia berlari dan berusaha, ia tetap tak menemukan jalan keluar.
Masih dengan dongeng gadis yang pemurung. Yang tak pernah melihat dunia dengan jelas. Ia seperti buta padahal dua matanya utuh sempurna. Ia seperti tak punya kaki untuk melangkah keluar, padahal dia manusia pemilik kaki yang lengkap.
Jerat yang terlalu kuat. Sesak yang tak akan di mengerti akal manusia manapun. Terikat seperti panggilan kematian. Terkejar oleh takdir dan kenyataan yang menjadi satu, aku belum siap. Ini seperti bom waktu, menunggu atau lari akhirnya tetap mati.
Perjanjiannya saat di dalam rahim benar-benar mengikatnya. Ia tak bisa keluar dari kastel terkutuk itu. Ia memudarkan percaya tentang cinta. Ia berhenti berkhayal tentang di suatu esok akan datang seorang Pangeran yang rela bertaruh nyawa demi menyelamatkannya.
Sekelikingnya terlalu suram dan menghitam.
Sang gadis kesepian ia tak punya teman. Ia sudah tak nyaman lagi tinggal di tempat yang disebut rumah.
Gadis itu menekukkan kaki menenggalamkan wajah murungnya disana. Ia tak mengijinkan satu orang pun untuk melihat air matanya. Gadis itu berbicara banyak dalam hati.
Aku ingin bebas. Aku ingin keluar dan melakukan apa yang aku suka. Aku ingin bangun dari mimpi buruk ini. Aku tidak lagi menunggu pelangi aku hanya ingin meminta pada awan untuk berhenti menurunkan hujan. Aku sudah tidak lagi berharap pada sosok Pangeran, aku hanya ingin bebas dan memiliki teman. Tempat ini sudah tak nyaman lagi, tolong evakuasi aku dari sini.
Aku menghela napas berat. Tersenyum kecut. Ternyata nasib ku tak jauh beda dari nasib si gadis yang ada di dalam dongeng.
Aku kembali mendatangi rooftoop gedung yang sepi. Kali ini sepinya bukan karena libur, tapi karena aku mendatanginya di tengah malam. Tepat di jam 00.00.
Mataku masih terjaga pikiranku masih lari kemana-mana. Rasanya hidupku berat sekali. Tak punya sandaran untuk bersandar, tak punya bahu yang bisa ku andalkan jika sewaktu-waktu aku perlu memijamnya.
Aku tak pernah minta untuk dilahirkan, tapi kenapa saat aku ada aku seperti di asingkan? Aku bukan anak haram aku juga bukan anak pungut. Pertanyaannya : Apa aku masih di anggap sebagai anak kandung?
Aku punya orang tua tapi seperti tidak. Aku terasingkan. Aku punya keluarga yang lengkap tapi aku tak pernah merasa hangat di tengah-tengah mereka. Aku tak bisa bebas bercerita. Aku tak punya seseorang yang bisa ku andalkan dan mendapatkan tempat istimewa di hatiku.
Bagaimana rasanya punya orang yang selalu ada saat terjatuh, menjunjung tinggi kesetiaan, menyediakan bahu untuk dijadikan sandaran, menyediakan telinga untuk selalu mendengar keluh kesah, menjanjikan pelukan sebagai obat penenang. Bagaimana rasanya?
"Kalau mau bikin ayah bangga dan senang. Latihan catur sering-sering. Buktikan bisa bawa piala." kata ayahku pada anak bungsungnya. Di ruang keluarga.
Sebuah kalimat sederhana yang membuatku tersayat dan tertampar dengan jelas. Bahwa kenyataannya selama sembilan belas tahun ini aku tidak pernah membuat ayah dan keluargaku bahagia terhadapku. Tak ada yang bisa dibanggakan dari aku. Aku payah sekali. Sampah sekali aku.
Aku menghardik diriku. Kenapa otak tak bisa di kendalikan? Aku benci pada situasi-situasi seperti ini. Ucapan ayahku kembali bergema terus terputar ulang di dalam kepalaku. Ayahku mengatakan itu tidak berbisik. Ia berbicara dengan nada sedang sampai aku bisa mendengar dan otakku meng copypaste dan menghafalkannya di dalam kepala. Mana sisi sifat pelupaku? Aku ingin melupakan kalimat buruk itu. Ah aku baru sadar. Motorik otak umumnya mudah mengingat hal yang buruk tapi sungkar mengingat yang baik.
Aku menyeka air mataku dengan kasar, aku menatap hamparan langit malam dengan pandangan lemah tak berdaya.
JUJUR
AKU CAPEK!
AKU GAK MINTA PUNYA OTAK YANG BODOH!
AKU JUGA GAK MINTA DILAHRIKAN DENGAN DI BERIKAN FISIK SEPERTI INI.
AAAAAAAAAAA......
Teriakku lepas kontrol, jantungku berdegup sedikit kencang. Aku mengatur napas yang terus memburu.
Tidak ada siapa-siapa yang akan mendengar teriakkanku. Jalanan sudah lengang. Aku bebas berteriak.
Aku mendongak menatap langit yang gelap.
"Aku ingin pergi."
"Pergi dari rumah yang sudah tak nyaman lagi."
"Aku ada tapi tak dianggap ada."
"Aku hanya terlihat bukan untuk dilihat."
"Mimpiku terkurung disana."
"Mereka tak mau mendengar suaraku."
"Mereka tak mau mendengar kehendakku."
"Mereka tak mau mendengar apa yang aku inginkan."
"Aku tidak bahagia di catur."
"Tetap memainkan catur sama saja aku perlahan mematikan jati diriku. Menumbuhkan aku menjadi manusia yang insecure parah."
"Mereka tidak membebaskanku untuk mengejar mimpiku dengan tenang."
"Aku juga punya mimpi."
"Mimpi yang berbeda jalan dengan keluargaku dan keinginan orang tua ku."
"Mimpi yang tak pernah dianggap dan ditanyakan oleh keluargaku sendiri. Mimpi yang tidak kuketahui kapan akan terjadi menjadi nyata."
"Aku mencintai dunia tulisku. Aku bahagia dalam melakukannya. Apa aku harus mengorbankan mimpiku demi mewujudkan mimpi orang lain. Apa aku harus mengorbankan bahagiaku demi membuat orang lain bahagia?"
"Segalanya terasa rumit menyesatkan menyulitkan."
"Kalian tau ke egoisan kalian itu sudah buat aku kehilangan semua hal baik yang ada di dalam diriku. Yang tersisa dari aku hanya ketakutan ketakutan dan ketakutan."
"Aku hanya ingin menyelamatkan apa yang hampir mati, aku hanya ingin melekatkan apa yang sudah retak, aku hanya ingin berusaha membangunkan kembali jati diriku yang sudah lama mati suri. Semua itu aku lakukan dengan mencintai dunia tulis. Tapi orang yang kuharapkan mendukungku malah mematahkan semangatku. Aku persis sendiri."
"Hingga sampai pada titik dimana, aku merasa...." jedaku sebentar, "I don't think this world is made for me."
Malam ini. Tangisku deras.
Bab kali ini tidak ada dongeng manis tentang 'sang gadis' di bab kali ini hanya bercerita tentang 'si AKU' Manusia yang tersesat dan sendirian.
Pertanyaannya : Apa aku bisa mewujudkan mimpiku? Atau aku berakhir gagal dan tetap jadi pecundang.
🌛🌛🌛
28.07.20
PUKUL : 00.00
KAMU SEDANG MEMBACA
Dongeng 00.00
Short StorySangat sadar aku membenci cinta. Aku tak mempercayainya. Cinta bagiku semacam ajaran sesat yang mengotori pikiran manusia. Sedari kecil aku sudah di kelilingi keabuan. Terkurung dalam sebuah cangkang nyaris tak punya teman. Untuk tersenyum seperti...