# 00.07

402 58 1
                                    

Aku berdiri di atas rooftoop gedung kantor, yang kebetulan para pegawainya cuti. Aku menyusup memasukkinya karena aku tidak punya akses masuk.

Dari atas rooftoop aku menatap atap-atap rumah yang berbentuk segitiga, aku menatap para orang yang bertansportasi dan pejalan kaki memadati jalan raya.

Kepalaku menunduk ke bawah. Menatap pemandangan di bawah sana.

Kalau aku terjun, kira-kira akan berakhir di rumah sakit atau pemakaman yaa? Tanyaku sendiri dalam hati.

"Andai manusia punya nyawa sebanyak kucing, sayangnya gak. Ah, padahal aku pengen sekali merasakan terjun dari atas bangunan gedung ini. Lalu membuat semua orang panik, memancing keributan dan orang-orang akan memperhatikanku. Sepertinya menyenangkan." Aku tersenyum kecut. "Meskipun ingin, aku masih waras. Aku tidak ingin mati dengan cara sia-sia."

Aku diam. Memandang lurus kedepan, entah fokus mataku kemana dalam menatap. Aku sendiri tidak tahu.

Beberapa angin menyapa kulit tubuhku juga wajahku, aku mengusap wajahku pelan. Angin nya terlalu kencang sampai masuk ke mataku, air mataku sampai keluar sendiri karenanya. Tidak banyak hanya sedikit karena aku langsung menghapus jejak air mata itu. Tapi katanya, air mata yang jatuh sedikit itu adalah luka besar yang akhirnya diledakan oleh alam bawah sadar manusia.

Haaahhhh....

Bagaimana rasanya lahir dan hidup di keluarga yang tak menuntut tentang masa depan si anak. Membebaskan sang anak dalam memilih?

Aku sedikit iri dengan anak yang mendapatkan kebebasan dalam memilih mimpinya sendiri.

Di waktu pagi saat aku masih di rumah. Awal terciptanya kembali hujan dalam tubuhku. Lama-lama capek juga dapat hujan mulu. Kapan pelanginya muncul?

Haahh...

Saat di ruang keluarga. Waktu itu ayahku baru pulang dari kerjanya. Kakakku adikku mamaku semuanya ada di ruang yang sama, hanya aku yang ada di kamar.

Pada pagi itu aku memutuskan untuk mencoba berlatih catur secara teratur dan berusaha agar menjadi anak emas juga. Aku akan bilang rencanaku ini pada ayah.

Langkah ku terayun begitu saja. Saat kakaku berkata.

"Kata om (namanya sengaja dikosongkan) nanti bakal ada latihan catur yang pelatihnya dari Jakarta. Kata om (......) diantara kami bertiga pilih dua aja. Aku sama adik, atau adik sama dia (si anak tengah). Jadi siapa yang bakal ikut latihan, yah?"

Kudengar ayahku tertawa sumbang, lalu dengan suara ringan dia berkata dengan awalan menyebut namaku, "dia gak berbakat. Kamu aja sama adik."

Deg....

Langkahku terhenti begitu saja. Kakiku mundur beberapa langkah. Rasanya sakit. Bahkan orang yang mengaku sayang denganku meragukan kemampuanku. Ah, atau aku sedari dulu memang tak punya kemampuan.

Aku bersembunyi di balik pintu lemari mengibaskan tangan ke wajah berkali-kali, kepalaku mendongak menahan air yang ada di dalam mata agar tak jatuh.

Suara ayahku dan perasaanku yang ingin melawan tangis. Beradu. Sangat kuat. Hingga akhirnya aku kembali jatuh. Aku kalah. Aku kembali menangis. Suara ayahku menang.

Rasanya sakit sekali.

"Ya, kamu emang gak berbakat. Sadar! Kamu gak berbakat! Gak berguna! Seharusnya kamu mati aja! Kenapa kamu masih hidup!" aku mengepalkan tangannku lalu memukul dadaku sendiri, "kenapa harus sesakit ini." Ucapku pelan.

Aku tersesat sendiri di dalam rumahku. Aku tak punya siapa-siapa. Kemana aku harus berlari? Ke rumah siapa yang harus kutemui? Aku tak punya orang yang tepat yang mau mendengar keluh kesahku setiap hari dengan cerita yang sama.

Siapapun. Tolong. Benturkan kepalaku ke tembok dengan keras, sampai aku pingsan dan kembali sadar dalam keadaan amnesia. Agar aku melupakan semua rasa sakit yang selama ini aku simpan.

"Sakiitt...." Lirihku.

Rasanya masih sama seperti awal di pagi tadi. Lukanya belum sembuh mungkin jadi tambah parah. Aku menghela napas beratku. Menatap langit yang terlihat cerah. Aku tersenyum kecut. Lalu jempolku menekan satu tombol, tanganku menggenggam sebuah alat perekam suara yang ukurannya setengah dari ukuran remote TV.

Aku menghela napas sebelum akhirnya aku membuka suara.

Catat lah waktu dan tanggalnya hari ini. Cuaca sedang berkhianat pada aku yang sedang tak sehat. Kalimatnya begitu menancap, terlalu tajam hingga membekas. Terputar berulang kali di dalam kepala.

Sudah selesai? Kenapa aku tak lega dalam menutupnya? Ada sesak yang perlu diselamatkan, namun harus dengan apa? Aku buta! Ada sedikit bagian lega yang tak bisa aku nikmati. Aku perlu rehat, namun tak ada kata istirahat, aku harus segera bergegas.
Dia pergi sejenak namun ia bisa kembali semaunya. Aku tak tenang. Maafkan aku yang suka diam. Aku terlalu payah untuk bicara.

Jujur, rasanya sakit sekali waktu dia bilang sendiri kalau aku tidak berbakat. Yaa aku sadar kalau aku ini selalu mengecewakan bagi orang tua. Jadi wajar aja permintaanku di nomor sekian kan. Wajar aja kalau kehadiranku tak pernah dianggap ada.

Mungkin benar anak tengah itu paling menyedihkan. Harus mengalah dengan kakak karena dia kakak, harus mengalah dengan adik karena dia adik. Sesakit itu yaa jadi anak tengah. Orang tua mana paham sama perasaan anak tengah, mereka lebih menuntut paham perasaannya ke anak sulung dan bungsu. Terlebih lagi kalau anak sulung dan bungsu itu sangat berbakat, sangat berguna, membanggakan, sudah jelas mereka berdua jadi anak emas.

Aku mengatur napasku yang kembali sesak. Aku menyeka air mataku yang kenbali keluar. Aku menarik napas sebelum kembali bersuara.

Aku dimata mereka hanya anak gagal, pecundang, payah, anak yang paling insecure. Padahal insecure ku terbentuk karena mereka juga.

Dear aku, semangat yaa jangan pantang menyerah. Gapapa kamu boleh nangis kok, tapi kamu harus kuat kamu harus buktikan bahwa kamu bisa sukses dengan caramu sendiri. Tetap ke tujuan awal kamu yaa, ingat cita-cita mu pengen jadi penulis kan? Yaudah, sebentar lagi mimpi mu akan terkabulkan dengan ajaib satu persatu di waktu yang dekat. 

Ku tekan tombol hitam berbentuk persegi kecil, untuk menyimpan rekaman. Aku berani bertaruh kalau suaraku di rekaman ini banyak terisaknya.

Sekali lagi aku menghembuskan napas beratku. Rasanya sedikit lega. Hanya ini yang bisa kulakukan kalau lagi hancur, karena aku sendirian aku gak punya teman curhat yang benar-benar mengerti aku. Sudah kubilangkan di dunia ini aku tumbuh sendiri.

Entah di hari apa Tuhan akan mengabulkan mimpiku yang ingin sekali jadi penulis. Entah di tanggal berapa aku bisa menampar omongan orang-orang yang tak percaya dengan keajaiban menulis. Bahwa dari menulis aku bisa hidup dengan baik. Entah di tahun keberapa semuanya menjadi baik, sedih yang mulai minggat dan bahagia yang datang. Aku tahu kapan waktu datangnya hujan tapi aku tidak tahu kapan waktu datangnya pelangi.

Pertanyaannya : Apa aku bisa menjadi anak emas seperti kakakku dan adikku?

🌛🌛🌛
28.07.20
PUKUL : 00.00

Dongeng 00.00Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang