***
Aku tak tahu kapan semua ini akan berakhir.
Jika kebohongan ini terus menerus ditutupi, akankah keluarga ini bahagia?. Dengan ataupun tanpa kebohongan, tetap saja kita tak bisa bersama sebagai keluarga yang harmonis. Maafkan aku Dylan. Tapi aku tak mau kehilangan papah setelah apa yang terjadi pada mama. Karena---ku, karena anak sial ini.Aku tak minta untuk dilahirkan ke dunia ini. Namun apa yang terjadi sekarang, aku bahkan dibesarkan tanpa kasih sayang seorang ibu. Tidak hanya itu, aku juga yang telah merenggut kebahagiaanmu Dylan. Aku berjanji untuk tidak akan pernah memintamu memaafkan ku. Namun, berikanlah kesempatan bagiku untuk memperbaiki keluarga yang kian semakin hancur. Walaupun terkadang aku berfikir bahwa itupun karena ulahku. Akulah yang patut tersakiti, bukan kau.
~Deynara
Nara menutup buku berwarna merah dan langsung beranjak dari duduknya. Berjalan menuju pintu kamar dan menarik kenop pintu. Sosok pria yang ia dapati tengah menyender di ambang pintu melihatnya dengan tatapan lekat. "Kamu nangis Ra?" Dylan mengusap linang air mata yang masih berada di pelipis Nara. Ia hanya menggeleng dengan mata yang melihat ke arah lain.
"Papah ga ngapa-ngapain kamu kan?" Dylan menyentuh kedua pundak adiknya, dan berbicara lembut padanya. Nara semakin rapuh mendengar pertanyaan dari Dylan. Ia kembali menangis. "Kemari!" Dylan membiarkan Nara menangis di pelukannya. Tidak dapat dibilang pelukan singkat.
"Aku ga nangis kok. Aku tau aku kuat," ungkap Nara dengan nada terisak-isak. Dylan mengusap lembut rambut Nara. "Nangis aja! Itu lebih baik." mendengarnya, pelukan Nara menjadi semakin erat. Namun tiba-tiba Nara mendorong tubuh kakaknya itu kuat-kuat. "Ga usah sok peduli gitu!" Dylan mengernyitkan dahi mendengar ucapan Nara barusan. "Aku buat salah ya?" tanya Dylan. "Ke---kenapa kamu pergi?" Nara bertanya lirih. "Kenapa?, Aku mohon jangan pergi lagi. Biarpun kamu tetep pergi, aku juga harus ikut!" Nara memalingkan wajahnya yang sudah lembab karena air mata. "Kamu aman disini Ra" Dylan tersenyum kecil.
"Maaf Ra, aku buru-buru."
0o0
"Lo ga pergi?" May mengernyitkan dahi. "Engga. maaf tapi gak ada cara lain." Dyan menarik tangan May dan membawanya pergi dengan berjalan cepat. "kemana?, Gue ga mau ikut Lo!" Teriak May. Namun, Dyan tidak menghiraukannya. Ia terus berjalan tanpa melihat ke belakang.
Setelah agak lama berjalan, seketika May terhenti. Dyan yang dari tadi menariknya, sedikit bingung karena ia kesulitan untuk menarik May kembali. "Kenapa berhenti?" tanya Dyan bingung. "Ha... yaampun Lo nembus pohon!" jawab May ngeri. Ternyata benar saja, Dyan si sosok tak kasat mata itu terlihat menembus pohon besar, sedang May masih terhalang tumbuhan tersebut sehingga ia tertahan dan Dyan tak mampu menariknya ikut menembus.
KAMU SEDANG MEMBACA
SOLITUDE ✎
Teen FictionWalau cantik dan manis, tetap saja bagi mereka di luar sana, May hanya seorang gadis biasa yang penuh dengan rasa angkuh. Bagaimana tidak, sifatnya yang kosong dan sulit ditebak menjadikan hadirnya seolah seperti mayat hidup. Hanya pria spesial yang...