Bab 3

13 6 5
                                    

Kalinda meratapi nilai ulangan sejarah miliknya. 25! Rata-rata memang segitu. Tertinggi masih menduduki nilai 40. Nilai 10, 15 sudah biasa didapatkan saat ulangan sejarah. Itu nilai atau nomor absen?

Mata pelajaran sejarah lekat dengan hafalan. Tidak mungkin bisa kita menghafal seluruh isi satu paket penuh. Sedangkan guru sejarah di sekolah Kalinda mengharapkan isian jawaban ulangan sama persis kata dan kalimatnya seperti dalam buku.

"Lo berapa Yu?"

"25."

"Yay sama!!" kedua gadis itu bertos ria. Bukan perkara nilai bagus mereka bergembira. Mendapati teman dengan nilai jelek yang sama dengan kita adalah kebahagian tersendiri. Merasa mempunyai sekutu.

"Lagian jawaban beda dikit dari buku langsung disalahin. Kan aneh! Kalau open book gitu gapapa." Kalinda masih terus mendumel kesal.

"Udahlah, maklumin aja. Nanti kita sekelas buat strategi gimana caranya nyontek dan nggak ketauan. Biar nilai kita bagus semua. Satu dapet nilai bagus masa yang lainnya enggak." Hibur Ayu.

Mendapat nilai jelek terus-terusan bukan lantas membuat murid berkerja ekstra belajar agar mendapat nilai bagus. Pemikiran licik melekat erat pada murid, bersengkokol dengan dalih solidaritas satu kelas dijadikan alasan utama untuk melakukan tabiat nakal mereka.

Kalinda mengacungkan ibu jarinya, "beres."

Ulangan sejarah diadakan pekan lalu. Sekarang nilai-nilai hasil ulangan mereka disebar. Tidak ada rasa malu atau bersalah karena nilai jelek, mereka malah menyusun kertas ulangan dengan nilai dari terkecil sampai terbesar. Memotretnya dan membagikannya di status whattsapp.

Tidak masalah jika kelas lain melihat nilai jelek mereka. Bukan menjadi rahasia umum jika sulit mendapat nilai di mata pelajaran sejarah.

"Disuruh baca-baca materi selanjutnya. Bu Rahayu nggak bisa ngajar. Minggu depan kuis, tanya jawab langsung. Harus bisa!" Egi sang ketua kelas memberikan mandat.

Kalinda bersyukur karena guru sejarahnya tidak bisa hadir. Setidaknya ia tidak harus mendengar ceramah panjang dari gurunya itu.

Dibukanya buku paket sejarah miliknya. Membaca sub judul yang tertera, Pemberontakan PETA di Madiun. Tidak tertarik. Kalinda menutup kembali paketnya. Kepalanya bisa mengepul jika dipaksa membaca buku saja.

"Kal, gimana menurut lo?"

Ayu menyerahkan ponsel dengan foto seorang cowok dengan latar pegunungan. Jaket merah dan syal abu-abu membelit lehernya. "Lumayan, baru lagi?"

Ayu hanya senyum-senyum kecil menjawab pertanyaan Kalinda. Kemampuan menggaet gebetan dengan cepat memang Ayu ahlinya. Kalinda sampai heran ilmu apa yang digunakan Ayu.

"Ini alumni sini loh Kal."

"Masa?" Kalinda kembali memperhatikan seksama fotonya. Menzoomnya. Ingin melihat lebih jelas lagi, "dulu kelas XII Ips ga sih? Pernah lihat."

"That's right. Seratus buat lo."

"Cowok-cowok itu datang sendiri apa lo yang deketin sih Yu?" tanya Kalinda penasaran, "perasaan cepet banget ganti gebetan."

"Gue bukan cewek murahan ya Kal! Jelas mereka lah yang deketin," Ayu mengibaskan rambutnya. Memamerkan bakatnya yang luar biasa.

"Bukannya lo lagi deket sama kakak kelas ya? Kak Ali kan? Temennya Kak Letta."

"Itu sih guenya yang ngarep. Kak Ali susah dideketin."

Kalinda membelalakkan matanya heran, "lo masih ngerasa susah buat deketin cowok? Gimana gue Yu."

Drama [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang