Bab 18

7 5 0
                                    

Kalinda meremas hasil ulangan matematikanya, tidak cukup baik untuk dibanggakan. Faktanya selalu sama, ia tidak akan dipuji jika belum mendapat nilai tertinggi. Kalinda memasuki rumah, penuh sesak karena kehadiran para kerabatnya.

"Ini Kalinda ya, udah gede ya sekarang."

Yang bisa ia lakukan hanya tersenyum menaggapi basa-basi Tante Santi; adik ayahnya.

"Kalin cepet ganti baju, habis itu bantuin mama."

Urusan bantu membantu pun tetap Kalinda yang akan dipanggil. Padahal sang adik sedang duduk manis di ruang tengah, tapi tak sekalipun sang mama memberi titah pada Arin. Cara Arin sangat mudah utuk mengelabuhi sang mama, cukup menaruh buku pelajaran di pangkuannya dan berpura-pura membaca atau mecorat-coretnya. Sudah pasti tidak akan ada yang mengganggunya.

"Nenek!" Kalinda memeluk wanita renta yang sedang mengaduk kuah kari. Lama ia tidak berjumpa dengan ibu dari ayahnya.

"Pelan-pelan dong sayang meluknya. Untung aja kuahnya nggak tumpah."

"Hehehe, maaf nek." Kalinda memperlihatkan deretan gigi serinya, meringis pada sang nenek.

"Kalin mama tadi nyuruh apa. Cepet ganti baju terus bantuin mama."

"Kalin baru pulang langsung disuruh-suruh. Arin nggak tuh."

Mamanya mengangkat gagang spatula, berniat menakut-nakuti Kalinda, "kamu ya! Diminta tolong orang tua nggak mau. Bisa aja ngelesnya."

Kalinda menggunakan punggung neneknya sebagai tameng. Sejak kecil hanya sang nenek yang akan selalu berdiri didepan sebagai garda pelindung saat Kalinda bertengkar dengan Aldi maupu Aldo.

"Udahlah Ni, jangan terlalu keras sama anak."

"Kalau nggak gitu lama-lama ngelunjak anak itu Bu."

"Kalin nggak ngelunjak." Kalinda berjalan menjauh menaiki tangga untuk sampai ke kamar kesayangannya. Karena sudah kepalang kesal, spatula ditangan mama terlempar begitu saja, dengan gesit Kalinda bisa menghindar. Gadis itu membalikkan badan dan menjulurkan lidahnya, "nggak kena wlee!"

"Kaliinn!!" sebelum bom atom meledak dan memporak porandakan seisi dapur, Kalinda berlari cepat menuju kamar.

"Kalin sayang Mama!!" teriaknya sambil berlari.

Sesuai titah mamanya, Kalinda berganti baju dan segera turun ke bawah. Ia membantu menata makanan pada meja makan. Memasukkan potongan buah dan es batu pada wajah besar dan mengaduknya. Setidaknya ini adalah bakat yang bisa Kalinda banggakan. Yaitu mau saja untuk disuruh bermacam-macam tugas. Asal yang tidak berhubungan dengan mengasah otak, Kalinda tidak sanggup untuk hal yang satu itu.

"Kal, tolong bawa kopi ke belakang."

"Iyaa tante," Kalinda tersenyum manis. Segera membawa nampan menuju halaman belakang.

Tepat hari ini seperti yang sudah dirundingkan sebelumnya. Rumah Bapak Firman menjadi tempat arisan keluarga. Semua sanak saudara dari keluarga sang Papa berkumpul. Sulit menemukan hari libur pada hari sabtu maupun minggu maka dari itu mereka sepakat untuk melaksanakan di hari Rabu malam. Dengan perasaan senang hati, Aldi—kakak Kalinda rela mengambil cuti. Seharusnya bisa saja Aldi saat sore hari baru kemari karena acara dimulai malam. Tapi akal-akalannya saja sehingga mengambil libur dari pagi.

"Kal ambilin arang disitu dong," belum sempat Kalinda meletakkan dengan manis nampan berisi kopi, tapi dengan tidak berperasaannya Aldo sudah membebaninya dengan tugas lain.

"Berasa babu banget gue."

Kalinda mengangkat karung kecil berisi arang menuju para laki-laki yang menyiapkan wadah bakar-bakaran. Rencananya mereka membuat pesta barbeque kecil-kecilan. Sempat ada penolakan dari pihak ibu-ibu, karena mereka sudah memasak banyak. Mubazhir jika ada yang tidak habis kemakan.

Drama [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang