Bab 31

9 4 0
                                    

Sabtu pagi dengan ditemani secangkir kopi. Bunga teratai yang terletak tidak jauh ikut menemani. Kalinda berhadapan dengan Dino, mengamati saksama bagaimana cara cowok itu menyesap perpaduan manis dan pahit.

"Lo doyan banget ngopi ya?"

Dino meletakkan secangkir kopi yang habis disesapnya, kemudian menggeleng. "Gue belum tidur semaleman. Biar nggak ngantuk aja."

Lingkaran hitam terlihat samar menghias bawah mata Dino. Kelopaknya yang menyipit sudah menandakan bahwa cowok itu menahan kantuk. Seperti sabtu pagi biasanya, kini Teater Astra sudah latihan rutin seperti dulu.

"Ngapain nggak tidur?"

"Biasalah." Kalinda mengerutkan kening. Tidak mengerti arti kata 'biasalah' yang diutarakan Dino.

Sekelompok anak sedang berlatih diatas panggung sana. Tak lain adalah teman-temannya sendiri. Yang dilakukan Kalinda hanya menunggu. Dalam hatinya mengadu penuh harap agar seseorang yang dipikirannya beberapa hari ini datang menghampiri.

Harapan membawa ujung kekecewaan. Gerbang penghubung dekat kelas X IPA 1 tak lagi terbuka karena dorongan seseorang. Hanya kosong yang dapat dilihat Kalinda.

"Sur!" Kalinda dan Dino kompak menoleh saat Mona berteriak memanggil nama Surya.

"Maafin abang surya ya teman-teman. Maaf. Senarnya putus ini," Surya segera bergerak turun dari panggung. Tatapan tajam dari Mona menusuknya dalam. Kesalahan Surya adalah senarnya putus disaat yang tidak tepat, saat Mona sudah memasuki jiwa Katminah dan mendalami bagaimana rasanya menjadi korban penjajahan.

Bantuan musik sangat diperlukan untuk menciptakan suasana. Tidak tepatnya Surya dalam memetikkan senar gitar akan mengubah segalanya.

"Kal pegangin bentar," Kalinda menerima gitar dari Surya. Sedangkan cowok itu sibuk mencari senar pengganti dalam tasnya.

"Gue main bagus juga percuma," Surya menggerutu pelan. Hanya Dino dan Kalinda yang dapat mendengar itu. "Selalu anak musik aja yang disalahin. Kalau aktor salah, minta diulang-ulang nggak pernah tuh gue protes."

"Lo ngambek Sur?" tuduh Dino.

"Nggak!" jawab Surya spontan. Ia menarik kasar gitar dari pangkuan Kalinda, membuat gadis itu sedikit terhenyak. Kalinda dan Dino tidak langsung mengomentari, berpandang sebentar kemudian mengamati Surya yang dengan telaten mengganti senar gitarnya.

"Kalau nggak ada Aksara percuma." Terbongkar sudah kekesalan yang dipendam Surya. Tidak mungkin cowok itu menyimpan dendam hanya karena senar putus. "Bukannya gue sok jago ya Kal. Percuma aja gitu kita latihan kalau nggak ada sosok peran utama. Ya memang, Aksara pandai, nggak usah diraguin lagi, nggak perlu ikut latihan pasti bisa tampil maksimal. Tapi kita ini satu tim. Sumpah, nggak menghargai banget tuh anak."

Kalinda juga merasakan kegundahan Surya. Jika bisa, ia ingin menyeret Aksara dari lokasi syuting dan membawanya kemarin. Namun sayang, nyali seorang Kalinda tidak sebesar itu. Meminta sedikit tempat pada gerombolan cowok di kantin saja, Ayu yang harus turun tangan.

"Dari dulu Aksara emang gitu. Susah banget diajak latihan, karena cuma dia aktor cowok yang bagus, mau nggak mau kita maklum sama tuh anak." Dino mulai menjeberkan seklumit cerita saat mereka kelas sepuluh, jauh sebelum Surya bergabung.

"Paling-paling dia niat latihan deket-deket lomba, kalau nggak sehabis dimarahin Mas Gun," lanjutnya. "Gue agak heran aja sih di lomba kemaren dia niat banget latihan. Udah feeling sih, kalau pasti ada alasan yang buat dia jadi gitu." Dino melirik sedikit pada Kalinda.

"Emang sekarang dia nggak ada alasan lagi buat giat latihan?" tanya Surya kemudian.

Dino menggeleng pelan, "Nggak tau." Kini ia menatap penuh Kalinda, "bisa nggak sih alasan itu bikin Aksara balik latihan lagi?" pertanyaan samar yang Kalinda tau itu ditujukan padanya. Ia meringkuk, menghindari tatapan Dino.

Drama [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang